Rizky Febriansyah
Monday, 28 November 2016
Sunday, 27 November 2016
Sinopsis Rencana Penelitian Disertasi Program Doktor Ilmu Sosial tentang Rumah Tidak Layak Huni

A.
Latar
Belakang
Budaya adhiluhung Bangsa Indonesia yang dipuji oleh
bangsa lain adalah budaya Gotong Royong, budaya ini sangat unik dan penuh
toleransi antar manusia, ini juga merupakan salah satu fakta yang membuat
indonesia bisa bersatu dari Sabang sampai Merauke, walaupun berbeda agama, suku
dan warna kulit
Kita mengetahui bahwa
modernisasi dan globalisasi melahirkan corak kehidupan yang sangat komplek, hal
ini janganlah sampai membuat bangsa indonesia kehilangan kepribadian sebagai budaya yang kaya akan unsur
budayanya yang salah satunya adalah budaya Gotong Royong, hal ini merupakan
kekuatan yang luar biasa besarnya sehingga perlu dikembangkan di negeri
ini.
Para leluhur pendahulu sudah
mewariskan semangat kegotong royongan. Semangat ini yang menjadi warisan sangat
berharga bagi generasi penerus bangsa, sebagai salah satu sarana pemersatu
bangsa indonesia.Tapi sepertinya saat ini semangat gotong royong mulai hilang /
peradaban luntur bersama perkembangan jaman. Memang tidak sepenuhnya hilang,
namun secara perlahan – perlahan kebiasaan gotong royong mulai surut terutama
di Kota – kota besar. Namun dibeberapa daerah masih bisa dijumpai masyareakat
bergotong royong. Tidak sedikit orang memilih mementingkan diri sendiri, orang
mulai sibuk dengan kepentingan mereka masing – masing.
|
Dibutuhkan pemikir
– pemikir yang peduli dan
terus berusaha melaksanakan budaya gotong royong, karena warisan leluhur ini
lah salah satu yang bisa menjadi pemersatu bangsa. Harapannya akan muncul
terobosan baru untuk membangkitkan kembali semangat gotong royong ini, sangat disayangkan
apabila nantinya budaya gotong royong ini benar – benar hilang di masyarakat
Indonesia.
Presiden Republik Indonesia
Pertama Ir. Soekarno dalam salah satu pidatonya, menyampaikan bahwa dasar
Indonesia merdeka adalah :
1.
Kebangsaan
Indonesia
2.
Internasionalisme
atau Perikemanusiaan
3.
Mufakat
atau Demokrasi
4.
Kesejahteraan Sosial
5.
Ketuhanan
Yang Maha Esa
Dari Lima silanya tersebut
dinamakan pancasila, artinya “azas” atau “dasar”, dan kelima dasar itulah
Indonesia berdiri menjadi negara yang kekal abadi. Bung Karno Juga menyampaikan bahwa Lima Sila itu
bisa diringkas menjadi tinggal 3 saja yaitu :
1.
Sosio
Nasionalisme
2.
Sosio
Demokrasi
3.
Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Ketiga Sila ini juga bisa
diperas menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu
Perkataan “Gotong Royong”. Yang masih diharapkan untuk terus menjaga kegotong
royongan adalah masyarakat desa. Sehingga desa mampu menjadi penjaga pilar
kejayaan semangat bergotong royong di dalam kehidupan bermasyarakat.
Tentu bentuk gotong royong leluhur
kita tidak mungkin dipertahankan
seutuhnya, hal ini dikarenakan adanya globalisasi peradaban di mana uang
menjadi pemicu pudarnya budaya gotong royong, banyak praktek gotong royong yang
berkembang di masyarakat yang diganti dengan uang, seperti tidak ikut ronda
cukup dengan bayar uang, tidak ikut kerja bhakti cukup dengan uang. Hal ini
fenomena yang berkembang di masyarakat, hal ini juga sebenarnya bisa menjadikan
luar biasa apabila
dimanage dikelola dengan benar dan dijadikan model
pemberdayaan masyarakat dalam mengembangkan budaya gotong royong walaupun
bentuknya berbeda, yang penting justru
manfaatnya yang bisa dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat miskin,
karena hal ini akan menciptakan simbiosis mutualisme antara si kaya dan si
miskin. Si kaya dapat mendayagunakan uangnya untuk mensejahterakan Si miskin
melalui kegiatan gotong
royong.
B.
Fokus dan Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang tersebut di atas maka problem statement dalam
penelitian ini adalah menurunnya budaya gotong royong di Kota Banjar, hal ini
ada dugaan/asumsi antara lain banyaknya jenis bantuan kepada masyarakat antara
lain program bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), sehingga masyarakat
cenderung pasif untuk melakukan kegiatan yang bersifat gotong royong.
Dari Pernyataan masalah tersebut, dapat di identifikasikan masalah
penelitian sebagai berikut :
1.
Bagaimana pelaksanaan Program Bantuan Rumah Layak
Huni (RTLH) di Kota Banjar
2.
Seberapa signifikankah Bantuan Keuangan kepada
masyarakat mempengaruhi terhadap budaya gotong royong di msyarakat
3.
Seberapa kuatkah pengaruh kelembagaan di
masyarakat bias meningkatkan budaya gotong royong
C.
Tujuan
Penelitian dan Kegunaan
-
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik masyarakat modern
dari aspek permasalahan gotong royong dan upaya untuk membangkitkan lagi budaya gotong royong walaupun dalam
bentuk yang berbeda karena situasi dan kondisi yang membuat bentuk gotong
royong berubah dari aslinya namun manfaat yang dihasilkan dari gotong royong
yang modern tetap sama yaitu membangun kebersamaan dalam rangka mensejahterakan
masyarakat untuk kepentingan bersama.
-
Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian ini adalah :
1.
Dapat mengetahui karakteristik
permasalahan memudarnya budaya gotong royong
2.
Dapat mengetahui suatu
gambaran yang komprehensip karakteristik masyarakat modern yang mempengaruhi
budaya gotong royong.
3.
Dapat memotivasi
kelembagaan masyarakat untuk menumbuhkan kembangkan budaya gotong royong dalam
bentuk yang berbeda
D. Kajian
Pustaka
Berbagai kebijakan sedang dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut
berbagai bidang kehidupan. Kebijakan yang diimplementasikan menyangkut
kebijakan pembangunan, pelayanan, pemberdayaan dan pengaturan atau regulasi
sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberikan pengayoman kepada
masyarakat.
Secara teoritis kebijakan dapat dipahami dari berbagai pendapat menurut
para ahli dalam bidang kebijakan publik.
Secara pemahaman teoritis kebijakan dapat dipahami dari beberapa
pendapat ahli, hal tersebut dimaksudkan dalam rangka memberikan pemahaman yang
baik dan benar dalam proses penelitian.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut pendapat Wahab (1997:14)
mengemukakan bahwa:
Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil
oleh seseorang aktor politik bekenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta
cara-cara untuk mencapai dalam suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu
pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para
aktor tersebut).
Kata kebijakan sering digabungkan atau dikaitkan dengan kata Pemerintah,
sehingga menimbulkan pengertian baru yaitu:”Kebijakan Pemerintah”. Maka dari itu kebijakan pemerintah menjadi
ukuran tentang bagaimana pelaksanaan pemerintahan yang baik dalam rangka
menjalankan roda pemerintahan.
Selanjutnya Wahab (1997:13) memberi definisi tentang kebijakan pemerintah
sebagai berikut:
Kebijakan Pemerintah terdiri dari serangkai keputusan yang dibuat oleh
suatu pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu dan juga sarana tertentu untuk
mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan
dekrit-dekrit pemerintah.
Kebijakan Pemerintah harus senantiasa ditunjukan bagi kepentingan seluruh
masyarakat. Dalam hal ini Islamy (2000:20-21) menegaskan bahwa: “Kebijakan
Pemerintah merupakan serangkaian tindakan yang ditetap dan dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada
tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat”.
Definisi kebijakan menurut Islamy (2000:20-21) di atas menimbulkan
pengertian sebagai berikut:
1. Bahwa
kebijakan itu dalam bentuk pendananya berupa penetapan tidakan-tindakan
pemerintah;
2. Bahwa
kebijaksanaan itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam
bentuknya yang nyata;
3. Bahwa
kebijakan itu baik untuk, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu
mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan;
4. Bahwa
kebijakan itu harus senantiasa ditunjukan bagi kepentingan seluruh anggota
masyarakat.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, baik berupa undang-undang,
peraturan pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang lain, mempunyai
sifat mengikat dan harus dipatuhi oleh anggota masyarakat.
Dengan demikian sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan dan dilaksanakan
oleh badan atau lembaga yang berwenang, harus disahkan terlebih dahulu.
Kebijakan merupakan suatu taktik dan strategi yang digunakan dan
diarahkan untuk mencapai yang diinginkan.
Lebih lanjut Raksasataya (dalam Islamy, 2000 : 17) mengemukakan bahwa kebijakan
sebagai suatu taktik dan strategi yang digunakan dan diarahkan untuk mencapai
tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat tiga elemen, yaitu:
1. Identifikasi
dari tujuan yang ingin dicapai;
2. Taktik
dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;
3. Penyediaan
berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik dan
strategi.
Penggunaan kata kebijakan dan kata kebijaksanaan seringkali digunakan
secara bergantian, sehingga terkadang sulit untuk dibedakan pengertiannya.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta (1987 : 115) memberikan
pengertian untuk kedua istilah tersebut sebagai berikut :
1. Kebijakan
berarti kepandaian, kemahiran, dan kebijaksanaan. Arti lainnya adalah rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak tentang pemerintah,
organisasi, dan sebagainya; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud
sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran dan garis
haluan.
2. Kebijaksanaan
berarti kepandaian menggunakan akal budinya, pengalaman dan pengetahuannya,
arif, tajam pikiran. Selain itu dapat berarti kecakapan bertindak apabila
menghadapi kesulitan dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian di atas, peneliti mengartikan kebijaksanaan dan
keputusan sebabagai kebijakan. Secara etimologis, istilah policy (kebijakan)
berasal dari Bahasa Yunani, Sansakerta dan Latin. Akar kata dalam Bahasa Yunani
dan Sansakerta yaitu polis (negara kota) dan pur (kota) dikembangkan dalam
bahsa Latin menjadi politia (negara) dan akhirnya dalam Bahasa Inggris policie,
yang artinya menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.
Dari definisi di atas jelas bahwa kebijakan ini merupakan tindakan yang
dilaksanakan langkah demi langkah, dengan menggunakan sarana tertentu untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Kebijakan menurut Jones (dalam Silalahi, 1998 : 1) terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
1. goal atau tujuan yang diinginkan
2. plan atau proposal, yaitu pengertian
yang sfesifik untuk mencapai tujuan
3. decision atau keputusan, yaitu
tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan
mengevaluasi program
4. efek, yaitu akibat-akibat dari program
(baik disengaja atau tidak disengaja, primer atau sekunder)
Kebijakan sering dipergunakan
dalam kaitannya dengan tindakan atau kegiatan-kegiatan baik yang dilakukan
secara perorangan maupun kelompok.
Seperti yang dikemukakan oleh Frederick (dalam Wahab, 1997 : 13) sebagai
berikut: “Kebijaksanaan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang
diinginkan”.
Sebagai implikasinya, pelaksanaan kebijakan yang berupa peraturan daerah
menuntut adanya intitusi dan publik yang menjadi target atau sasaran. Pelaksanaan
kebijakan Program Rumah Tidak Layak Huni. Kebijakan ini pada dasarnya harus
selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak untuk kesejahteraan
bersama secara adil dan merata serta tidak menghilangkan semangat gotong royong
di masyarakat.
Gotong royong adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama
dan bersifat suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan
lancar, mudah dan ringan. Gotong royong juga sangat sesuai dengan
ajaran islam, Islam menginginkan umatnya saling mencintai, menyayangi dan
saling berbagi, itu sangat sejalan dengan prinsip gotong royong.
Semangat gotong royong dalam islam juga bisa dijadikan ukuran keimanan
seseorang, dalam hal ini Rasulallah SAW. Bersabda dalam hadist yang di
riwayatkan Bukhari,Muslim,Tirmidzi,dan Nasai:
“Tidak beriman salah seorang diantara kamu sampai ia mencintai saudaranya
sama dengan mencintai dirinya sendiri”.
Sesama muslim adalah saudara, jadi antar sesama muslim kita wajib saling
mengasihi, saling tolong menolong dan bekerja sama dalam hal kebaikan(Gotong
Royong). Dengan landasan cinta, seorang muslim menjadi penolong bagi muslim
yang lain.
Contoh kegiatan yang dapat dilakukan secara bergotong royong antara lain
pembangunan fasilitas umum dan membersihkan lingkungan sekitar. Sikap gotong
royong itu seharusnya dimiliki oleh seluruh elemen atau lapisan masyarakat baik
di kota maupun di pedesaan. Karena, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau
lapisan masyarakat melakukan setiap kegiatan dengan cara bergotong royong.
Dengan demikian segala sesuatu yang akan dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat
diselesaikan dan pastinya pembangunan di daerah tersebut akan semakin lancar
dan maju. Bukan itu saja, tetapi dengan adanya kesadaran setiap elemen atau
lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong maka hubungan
persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.
Dibandingkan dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri
maka akan memperlambat pembangunan di suatu daerah. Karena individualisme itu
dapat menimbulkan keserakahan dan kesenjangan diantara masyarakat di kota
tersebut.
Perilaku gotong royong pada hakikatnya identik dengan kegiatan yang
melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini jelas dinyatakan bahwa gotong
royong tidak mengedepankan aspek individualitas, justru kekompakan
dalam melakukan suatu tindakan atau pekerjaan tertentu
yang dilakukan atas inspirasi positif dari berbagai pihak.
Perilaku gotong royong bukan sesuatu yang terjadi tanpa dapat
diidentifikasi. Dengan adanya perilaku ini, maka secara tidak langsung
masyarakat secara umum diberikan beberapa wacana terkait dengan karakteristik
yang melekat pada perilaku gotong royong tersebut. Berikut penjelasan yang
dimaksudkan.
Gotong-royong sudah tidak dapat dipungkiri lagi sebagai ciri khas bangsa
Indonesia yang turun temurun, sehingga keberadaannya harus dipertahankan. Pola
seperti ini merupakan bentuk nyata dari solidaritas mekanik yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat, sehingga setiap warga yang terlibat di dalamnya memiliki
hak untuk dibantu dan berkewajiban untuk membantu, dengan kata lain di dalamnya
terdapat azas timbal balik.
Beberapa karakteristik yang dimungkinkan cukup merepresentasikan perilaku
gotong-royong dapat dinyatakan sebagai berikut.
1.
Sebagai sifat dasar bangsa Indonesia yang
menjadi unggulan bangsa dan tidak dimiliki bangsa lain.
2.
Terdapat rasa kebersamaan dalam setiap pekerjaan
yang dilakukan. Sebagai bahan pertimbangan bahwa nilai-nilai kebersamaan yang
selama ini ada perlu senantiasa dijunjung tinggi dan dilestarikan agar semakin
lama tidak semakin memudar.
3.
Memiliki nilai yang luhur dalam kehidupan.
4.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, karena di
dalam kegiatan gotong-royong, setiap pekerjaan dilakukan secara bersama-sama
tanpa memandang kedudukan seseorang tetapi memandang keterlibatan dalam suatu
proses pekerjaan sampai sesuai dengan yang diharapkan.
5.
Mengandung arti saling membantu yang dilakukan
demi kebahagiaan dan kerukunan hidup bermasyarakat.
6.
Suatu kegiatan yang dilakukan secara
bersama-sama dan sifatnya sukarela tanpa mengharap imbalan apapun dengan tujuan
suatu pekerjaan atau kegiatan akan berjalan dengan mudah, lancar dan ringan.
E. Kerangka Pemikiran
Dengan Penelitian yang sedang atau akan dilaksanakan sekarang, juga dapat
digunakan untuk membantah/membenarkan hasil – hasil penelitian sebelumnya dan
atau menemukan suatu kajian baru untuk menjawab masalah – masalah yang ada.
Berdasarkan dukungan landasan teoritik yang diperoleh dari eksplorasi
teori yang dijadikan rujukan konsepsionable Variabel Penelitian maka dapat
disusun kerangka penelitian sebagai berikut :
Diagram
kerangka pelnelitian
![]() |
|
![]() |
![]() |
||
![]() |
Kerangka Pemikiran tersebut di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1.
Komponen - komponen
input analisis mencakup/mengenai
fenomena yang berkembang dimasyarakat bahwa budaya gotong royong dimasyarakat
mulai memudar,
kemudian asumsi yang menjadi penyebab memudarnya budaya gotong royong adalah banyaknya
jenis bantuan kepada masyarakat yang salah satunya adalah program bantuan Rumah
Tidak Layak Huni (RTLH), sebagai judul penelitian desertasi ini. Kemudian dari
asumsi tersebut yakni Kajian
Terhadap Kebijakan Program Bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Kota Banjar untuk
menganalisis masalah tersebut maka penulis mengambil teori – teori yang relevan
sebagai rujukan. Penyusunan konsep operasional variabel penelitian, yaitu Teori
kelembagaan, Teori Atnografi Sosial
dan Teori Perubahan sosial.
2.
Dari input analisis
tersebut di atas, maka peneliti akan melakukan proses analisis dengan
menggunakan metode analisis kualitatif, metode ini untuk mengukur apakah ada
sebab akibat antara kemampuan kelembagaan dan budaya gotong royong yang dipandang sebagai
variabel antecedent (yang mendahului, penyebab) terhadap menurunnya budaya
gotong royong di Kota Banjar yang kami pandang variabel konsekuensi dalam
rangka penyajian hipotesis
3.
Kemudian kita akan
mendapatkan output analisis, metode analisis data tersebut adalah berupa pokok –
pokok kesimpulan dan saran
4.
Kemudian manfaat dari
output analisis yang berupa kesimpulan – kesimpulan yang kita sebut sebagai
outcome analisis. Mudah – mudahan menjadi model dalam rangka bagaimana cara
membangkitkan kembali budaya gotong royong di Kota Banjar, walaupun bentuk gotong royongnya
berbeda dengan budaya
gotong royong yang selama ini kita kenal karena yang penting adalah rasa
kebersamaan dan manfaatnya di rasakan oleh masyarakat miskin bisa mendapatkan
penghasilan dari budaya gotong royong dengan model yang baru.
5.
Dengan kerangka
pemikiran yang demikian maka peneliti mengasumsikan adanya pengaruh positif (
searah ), karena hasilnya menyuguhkan
hubungan kausalitas
yang menimbulkan simbiosis
mutualisme antara si kaya dan si miskin, hal ini dapat disimpulkan bahwa teori
penguatan kelembagaan sangat berpengaruh dengan meningkatnya budaya gotong
royong di masyarakat.
F.
Metode
Penelitian
1
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif
yakni pendekatan ini memiliki karakteristik alami (natural stting) sebagai sumber
data langsung, deskriktif, proses lebih penting dari pada hasil. Ada 6 (enam )
macam metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
arografis, studi kasus, grounded teory, interaktif, partisifatip dan penelitian
tindakan kelas.
Dalam hal ini penelitian yang digunakan adalah penelitian study kasus (case
Study) yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk mempelajari secara intensif
tentang latar belakang keadaan sekarang (untuk mengetahui apa yang menyebabkan
budaya gotong royong menurun atau memudar)
2
Tempat
Penelitian
Penelitian ini bertempat di Pemerintah Kota Banjar yang mengeluarkan
kebijakan Program Bantuan RTLH yang digulirkan sejak tahun 2010
3
Instrumen
Penelitian
Dalam Penelitian ini, yang
menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri
4
Sampel
Sumber Data
Sumber data utama dalam
penelitian ini adalah apa yang disebutkan oleh responden (kata-kata) dan
tindakan selebihnya adalah tambahan seperti dokumen
5
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi
1.
Wawancara
Wawancara adalah percakapan
dengan maksud tertentu untuk
mengkonstruksikan orang, kejadian,
kegiatan, organisasi,
perasaan, motivasi, tuntutan kepedulian, dll. Teknik ini untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya secara mendalam yang berhubungan dengan fokus
permasalahan.
2.
Observasi
Teknik Observasi dalam
penelitian kualitatif observasi diklasifikasikan menurut tiga cara :
Pertama, pengamatan dapat bertindak
sebagai partisipan
Kedua, observasi dapat
dilakukan secara terus terang atau penyamaan
Ketiga, observasi yang
menyangkut latar penelitian dan dalam penelitian ini digunakan teknik observasi
yang pertama dimana pengamat bertindak sebagai partisipan
3.
Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan
untuk mengumpulkan data dari sumber, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman
6
Teknik
Analisis Data
Setelah semua data terkumpul,
maka pengolahan dan analisa data adalah suatu proses mencari dan menyusun
secara sistematis data diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan
dokumentasi dengan mengorganisasikan data kedalam kategori menjabarkan ke dalam
unit – unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang
penting dan akan dipelajari, serta membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami
oleh diri sendiri atau orang lain. Analisa adata dalam kasus ini
menggunakan analisis data kualitatif, maka dalam analisis data selama dilapangan peneliti menggunakan model spradley yaitu teknik analisa data
yang disebutkan dengan tahapan dalam penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Dunn,
William N. 1998. Kebijakan Pengantar
Analisis Publik Gadjah Mada University
Press Yogyakarta.
Islamy, M. Irfan. 2000. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan
Negara. Jakarta : Bumi Aksara.
Salusu, 1996, Pengambilan Keputusan Strategik Untuk
Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta : Penerbit PT. Gramedia.
Sugiyono. 2011. Metode
Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta, cv.
Wahab, Sholihin Abdul. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Rineka Cipta
Winarno, Budi. 2002, Proses Kebijakan
Publik, Yogyakarta : Medi
Pressindo
Thursday, 19 November 2015
Makalah Keuntungan dan Kerugian Pemilu
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur
konstitusional yang menentukan suatu pemerintah berfungsi. Dalam demokrasi,
pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu
struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi.
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara
Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak
sipil dan politik dari warga negara.
Penyelenggara Pemilu
yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas. Jadi
dalam pemilu untuk memilih secara langsung
Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi/kabupaten/kota, sebagai penyalur
aspirasi politik rakyat di wilayah
bersangkutan, guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis diperlukan penyelenggaraan
pemilihan umum yang berkualitas sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang
dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara
pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan
akuntabilitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang –Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan
rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi
rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif,
dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan demokrasi
dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu
perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang ini mengatur mekanisme
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan
Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan
moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Untuk
mewujudkan hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting
yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon Presiden dan Wakil
Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan
selama 5 (lima) tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggarakan sistem
pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau
Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi
Pemilihan Umum. Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan
kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa
Keuangan, Panglima Tentara Nasioanal Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pembrantasan Korupsi harus mengundurkan
diri apabila dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pengunduran
diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga
etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil
bupati, atau walikota/wakil walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada
saat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya
pemimpin golongan atau kelompok tertentu saja, untuk itu, dalam rangka
membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil
Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan Partai Politik yang
pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing Partai politik.
B. Maksud dan
tujuan
1. Maksud
Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung diharapkan mendapatkan pemimpin yang
berkualitas karena atas keinginan rakyat serta mewujudkan system demokrasi yang
sesungguhnya. Pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan atas UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya penyempurnaan atas
berbagai materi pengaturan yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu, peserta
pemilu, pendaftaran pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pencalonan,
kampanye, prinsip umum pemungutan suara, penghitungan suara, pemantauan pemilu,
dan penyelesaian sengketa pemilu.
2. Tujuan
Tujuan pembentukan
UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah terbentuknya undang-undang
sebagai landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil
Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintahan nasional, dalam rangka
mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
C. Landasan
Penyempurnaan
1. Landasan Filosofis
Di dlam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diamanatkan bahwa Presiden
dan Wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
dalam perwujudannya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Amanat
konstitusional tersebut sekaligus memberi arah bagi penyelenggaraan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
Penyempurnaan
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden didasarkan atas
pemikiran bahwa penyelenggaraan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang
merupakan bagian dari proses demokratisasi (kembali) kehidupan politik harus
diorientasikan kepada 2 (dua) hal mendasar. Pertama, adalah bagaimana membangun
proses pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil yang dapat terselenggara dengan aman dan tertib dan dapat menampung dan
mewujudkan harapan dan keinginan seluruh rakyat untuk ikut serta dan
berpartisipasi dalam proses penyelenggaraannya sehingga akan dapat mencapai
tujuan yang dicita-citakan bersama. Kedua, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden dapat menghasilkan pasangan Presiden dan dan Wakil Presiden yang
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai Kepala Pemerintahan, sehingga harapan
seluruh rakyat untuk memiliki pemimpin yang akan mampu menyelenggarakan
Pemerintahan Negara dengan sebaik-baiknya.
Pemerintahan
negara yang menjadi harapan rakyat tersebut dapat mewujudkan pemerintahan yang
baik dan bersih. Kedua hal tersebut akan dapat dicapai dengan baik jika semua
pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
selalu dapat memahami dan menghayati nilai-nilai kebangsaan dalam memberikan
dasar bagi penyempurnaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
2. Landasan Sosiologis
Orientasi
pemikiran sosiologis antara lain menunjukkan adanya perkembangan dinamika
masyarakat, dan kecenderungan penilaiannya terhadap pengalaman empiris pada
pemilu sebelumnya. Suasana reformasi dimana masyarakat menghendaki
perbaikan-perbaikan di bidang politik tak terkecuali perbaikan di bidang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal-hal yang diinginkan diantaranya
seperti perlunya transparansi dalam pengelolaan dana kampanye baik dalam
penerimaan, pengeluaran, serta pelaporan secara akauntabel, transparansi dalam
proses pendafataran pemilih dan penghitungan suara yang harus dilakukan secara
tertib mulai tingkat kelurahan atau desa, kecamatan, kabupaten, provinsi,
maupun pada tingkat nasional.
Dinamika
masyarakat juga menghendaki adanya calon yang aspiratif, memiliki kompetensi
kepemimpinan nasional dan berkualitas. Spesifikasi calon Presiden dan Wakil
Presiden yang demikian merupakan harapan pemilih. Harapn demikian sesuai dengan
kecenderungan masyarakat. Mengingat Presiden dan Wakil presiden dipilih oleh
rakyat secara langsung, tentu rakyat memiliki legitimasi yang langsung pula
terhadap kapasitas kepemimpinan pasangan calon terpilih sehingga hak
legitimasinya harus mendapat perhatian secara proporsional bahkan sejak awal
ketika penyelenggaraan pemilu dimulai.
3. Landasan Yuridis
Sistem Pemilihan
Umum yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah melahirkan
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
memiliki arah, substansi, serta sinergi dengan undang-undang lainnya.
Perkembangan dalam Pembangunan politik berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 perlu
mendapat perhatian. Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
akan memberi arah lebih lanjut bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyelenggaraan
Pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden mempunyai kaitan yuridis dengan undang-undang lain.
Undang-undang yang berkaitan langsung dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus menjadi dasar yuridis bagi
penyempurnaannya. Di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
terdapat peran utama yang melibatkan partai politik peserta pemilu. Oleh karena
itu undang-undang yang mengatur tentang partai politik harus menjadi dasar juga
bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden .
Demikian pula hal dengan
undang-undang yang mengatur pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD dan bahkan
undang-undang yang mengatur mengenai susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Hakekat Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan
berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan. Kata system merupakan
terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan,
jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan
yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata
itu berarti:
a.
Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh
melakukan sesuatau
b.
Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu
wilayah, daerah, atau, Negara.
c.
Pemerintahan adalah perbuatan, cara, hal, urusan dalam
memerintah
Maka dalam arti yang
luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan
legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai
tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintahan adalah
perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya
dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha
diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan
yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan
fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan
menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan
Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan
Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas
undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga
eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintaha negara
menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga negara, dan
bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang
bersangkutan.
Tujuan pemerintahan
negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya,
tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan
Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan
dari pemerintahan di negara Indonesia.
Sistem pemerintahan
negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
a.
sistem pemerintahan presidensial;
b.
sistem pemerintahan parlementer.
Pada umumnya,
negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut.
Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari
dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari
negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bahkan, Inggris disebut
sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat
merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Klasifikasi sistem
pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara
kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer
apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat
pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut
presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan
legislatif.
Perkembangan Sistem Pemerintahan
Negara Indonesia
Sistem pemerinatahan
negara Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan
berubahnya konstitusi yang digunakan di Indonesia.
Adapaun sistem
pemerinatahan yang pernah berlangsung anatara lain adalah:
a. Sistem Pemerintahan di bawah UUD
1945, 18 Agustus 1945
b. Sistem Pemerintahan Konstitusi RIS
1949
c. Sistem Pemerintahan di Bawah UUDS
1950
d. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD
1945, 5 Juli 1959
e. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD
1945, Masa Orde Baru
f. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD
1945, Masa Reformasi
Sistem Pemerintahan
pada masa Orde Reformasi, dapat kita lihat berdasarkan aktivitas politik
kenegaraan sebagai berikut :
·
Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak
yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik
lisan maupun tulisan sesuai pasal 28 UUD 1945 dapat terwujud dengan
dikelarkannya UU No 2 / 1999 tentang Partai Politik yang memungkinkan
Multipartai
·
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan keluarnya Ketetapan MPR
No. IX/MPR/1998 yang ditindaklanjuti dengan UU N0. 30 / 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (kini sedang menangani kasus KPU)
·
Lembaga legeslatif dan organisasi sosial politik
sudah memiliki keberanian untuk menyatakan pendapatnya terhadap ekskutif yang
cenderung seimbang dan proporsional
·
Lembaga MPR sudah berani mengambil
langkah-langkah politis melalui sidang tahunan dengan menuntut adanya laporan
pertanggungjawaban tugas lembaga negara (progress report), UUD 1945
diamandemen, Pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat
Presiden dalam sidang istimewanya
·
Dalam amandemen UUD 1945 masa jabatan Presiden
paling banyak dua kali masa jabatan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih
langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2004, MPR tidak lagi lembaga tertinggi
negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama denga Presiden, MA, BPK,
kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD
Di dalam amandemen
UUD 1945, ada penegasan tentang Sistem Pemerintahan Presidensial tetap
dipertahankan dan bahkan diperkuat dengan mekanisme pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung.
Sebagai hasil cipta
rasa karsa manusia sistem pemerinatahan negara Indonesia pastilah juga memiliki
beberapa kelebihan dan juga kekurangan. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki
sistem pemerintahan negara Indonesia antara lain adalah:
a. Kelebihan
Penerapan Sistem Pemerintahan Presidential
·
Pemerintahan (Presiden) akan lebih stabil,
karena Menteri-Menterinya bertanggung jawab terhadap yang mengangkat dan
memberhentikannya
·
Kedudukan Pemerintah ( Ekskutif ) sama kuat
dengan Parlemen, karena sama-sama tidak dapat saling menjatuhkan
·
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan ( Ekskutif
), bertanggung jawab kepada yang memilihnya atau yang mengangkatnya sehingga
dapat melaksanakan tugas sampai habis masa jabatannya
·
Tidak ada badan atau lembaga oposisi
·
Apabila ada perselisihan antara Ekskutif dan
Legeslatif maka yang memutuskan adalah lembaga Yudikatif
·
Presiden hanya bisa dijatuhkan secara yuridis
(bila melanggar hukum) bukan secara politis (dalam laporan pertanggungjawaban
pada akhir tahun) bila melanggar hukum akan disidang oleh Mahkamah Konstitusi
b. Kekurangan
Penerapan Sistem Pemerintahan Presidential
·
Kekuasaan Parlemen terbatas pada kontrol atau
pengawasan saja terhadap pelaksanaan pemerintahan karena tidak dapat
menjatuhkan Presiden (Ekskutif)
·
Presiden cendrung otoriter karena pengangkatan
dan pemberhentian menteri dapat dilakukan sewaktu-waktu oleh Presiden (hak
prerogative Presiden) dan Menteri dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai
dengan program kerja Presiden
·
Tidak adanya pemisahan yang tegas antara lembaga
negara seperti dalam ajaran pemisahan kekuasaan (sparation of power) dari Trias
Politika, karena Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of
power)
B. Menuju
Sistem Pemilu yang Demokratis
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 telah mengantarkan seluruh rakyat Indonesia
berpartisipasi dalam menentukan pilihan secara langsung dalam rangka menentukan
pemimpin pilihannya. Sistem pemilihan langsung tersebut di atas telah
memberikan tempat yang luas bagi tumbuhnya sistem perpolitikan nasional pada
satu segi, dan pada segi lain presiden terpilih akan memiliki mandat dan
legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat. Karena itu
Presiden terpilih berada diatas segala kepentingan dan dapat menjembani
berbagai kepentingan tersebut.
Ada mekanisme kontrol dari rakyat dalam rangka
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ketika pasangan Presiden dan
Wakil Presiden terlpilih selama masa pemerintahannya, sehingga Presiden dan
Wakil presiden terpilih mempunyai beban konstitusional dalam memenuhi
janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye,
karena yang demikian adalah juga merupakan harapan rakyat. Hubungan senergis
antara pasangan Presiden dan Wakil Presiden dan rakyat pemilih yang dijembatani
oleh pemenuhan janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa
kampanye, memberi gambaran telah terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .
Demikian pula sistem Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung melahirkan check and balance antara lembaga legislatif
dan lembaga eksekutif yang lebih seimbang karena kedua lembaga ini sama
kuatnya, tidak ada satu lembaga yang dapat membubarkan lembaga lainnya.
Sehingga dalam pengambilan kebijakan, masing-masing lembaga dapat saling
bersinergi untuk menghasilkan keputusan yang terbaik bagi rakyat sebagai
konstituennya.
C. Menuju Sistem Pemerintahan yang Efektif
Pengertian pemerintahan yang efektif adalah suatu
proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik
yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata perundangan
yang berlaku. Sedangkan pengertian sistem pemerintahan yang efektif adalah
suatu pola hubungan antara berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka
pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip
tertentu untuk menterjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat.
Pentingnya suatu sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak bersumber pada 3 (tiga) alasan utama. Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menerjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas Pemerintah lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang.
Pentingnya suatu sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak bersumber pada 3 (tiga) alasan utama. Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menerjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas Pemerintah lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang.
Untuk mendukung tercapainya sistem pemerintahan yang
efektif, maka perlu suatu upaya serius untuk menguatkan berbagai elemen sistem
pemerintahan bagi kebijakan publik yang aspiratif dan responsif.
Argumen teoritik pilihan terhadap sistem
presidensialisme adalah: pertama, presiden adalah satu-satunya pejabat publik
yang dipilih untuk mewakili seluruh rakyat dan wilayah negara. Dengan demikian
presiden memiliki mandat yang kuat untuk melaksanakan kehendak rakyat dan
wilayah. Asumsinya, dengan mandat yang demikian maka lembaga ini memiliki dasar
untuk melaksanakan suatu pemerintahan yang efektif. Kedua, dalam banyak kasus,
presiden biasanya dipilih langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti.
Dipilih langsung akan membuat kedudukannya tidak tergantung pada dinamika
lembaga lain. Hubungan ini memungkinkan stabilitas kelembagaan yang akan
berimplikasi kemungkinan tercapainya pemerintahan yang efektif. Ketiga,
presiden terpilih memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan nasional secara
terencana dan responsif, dan efektif.
Efektivitas fungsi pemerintahan menghendaki lembaga
kepresidenan didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif.
Hubungan antara lembaga kepresidenan dan sistem perwakilan yang berimbang akan
meletakan fondasi check and balances yang efektif. Secara umum dapat dikatakan
bahwa penguatan sistem pemerintahan presidensial membutuhkan penguatan lembaga
kepresidenan, penguatan lembaga perwakilan, serta perimbangan hubungan
kelembagaan antara presiden dan legislatif.
D. Hubungan Sistem Kepartaian dalam Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden dengan Sistem Presidensial.
Beberapa literatur menunjukkan adanya hubungan yang
relatif konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya dengan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang
bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi
sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami
kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya
mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama koalisi yang
mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk
menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya.
Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota Dewan terhadap kesepakatan yang
dibuat pimpinan partai jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain tidak adanya
disiplin partai membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti.
Perubahan dukungan dari pimpinan partai sangat juga ditentukan oleh perubahan
kontekstual dari konstelasi politik yang ada.
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat presidensial
dengan membuatnya mampu memerintah adalah dengan menyederhanakan jumlah partai.
Jumlah partai yang lebih sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto
point dan biaya transaksi politik. Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi
lebih fokus dan berkualitas. Publik juga akan mudah diinformasikan baik tentang
keberadaan konstelasi politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan
politik lebih sederhana.
Sistem kepartaian mempunyai hubungan sinergik dengan
sistem Pemilu yang sekaligus menunjukan dianutnya tipe pemilihan umum plural
majority dan akan menghasilkan jumlah partai yang lebih sedikit. Selain itu ada
pula tipe pemilihan umum sistem representasi proporsional yang akan melahirkan
sistem multi partai. Untuk dapat menghasilkan tipe system kepartaian sederhana,
maka perlu pengkondisian dalam proses pemilu. Untuk dapat mengikuti pemilu
berikutnya biasanya diberikan syarat minimal suara atau electoral threshold.
E. Keuntungan dan Kerugian Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung
Dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2005, tentang Pemerintahan Daerah
bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata
pemerintahan di tingkat lokal. Kepala Daerah, baik bupati/walikota maupun
gubernur yang sebelumnya dipilih secara langsung oleh DPRD, dengan
Undang-undang Nomor 32 tahun 2005 tesebut maka pemilihan kepala daerah
dilakukan melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat.
Pasal
56 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasang calon yang dilaksanakan secara demokratis,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Artinya, sejak kepala daerah
dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran
pelaksanaan kedaulatan, yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh
DPRD sekarang dilakukan sendiri oleh rakyat.
Adalah
hal yang wajar ketika sebuah produk Perundangan yang menegaskan aturan baru
dalam konteks politik kenegaraan mendapat banyak tantangan ketika awal ia
diajukan ke publik. demikian pula ketika konsep pilkada langsung digagas
melalui Undang-Undang 32 tahun 2005, pada awal perumusan dan penetapannya tidak
sedikit pihak yang yang memunculkan berbagai ketidaksetujuan dan kekhawatirannya
terhadap produk Undang-Undang tersebut, untuk memahami lebih lanjut mengenai
pilkada langsung maka penting bagi kita untuk mengetahui pro dan kontra ketika
perundang-undangan ini dibuat sehingga kontek pemunculan undang-undang ini
menjadi lebih jelas.
Pemilihan
Umum secara langsung tentu menimbulkan banyak permasalahan baik dari implikasi
politik maupun dampak sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Ada
beberapa Keuntungan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
1.
Pemilihan secara
langsung memungkinkan proses yang lebih
Partisipasi. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang
lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam Pemilu dalam arti partisipasi
secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan
rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan.
2.
Proses Pemilu secara
langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk
menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin
yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan
dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan
terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik.
3.
Presiden
mempunyai manfaat legitimasi yang kuat
4.
Sistem
lebih accountable
5.
Check
and Balance legislatif-eksekutif seimbang
6.
Kriteria
calon Presiden dapat dinilai langsung oleh pemilih / masyarakat
Dari
pelaksanaan Pemilu secara langsung, ada beberapa permasalahan yang muncul
berkaitan dengan persiapan dalam penyelenggaraan pilkada,
permasalahan-permasalahan ini harus diantisipasi oleh pemerintah khususnya KPU
sebagai pelaksana Pemilu, Jadi berikut kerugian – kerugian Pemilu Secara
Langsung antara lain :
1.
Sistem
ini memberi peluang kandidat Presiden harus dari Partai besar dan dengan dana
yang besar
2.
Beratnya persyaratan
pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mencapai 20 % dari suara /
kursi DPR RI sehingga bagi calon-calon presiden bukan dari partai besar,
kemungkinan kecil dapat mencalonkan.
3.
Partai Politik dan pasangan calon
presiden dan Wakil Presiden menghabiskan biaya kampanye yang besar, ditakutkan
ketika sudah terpilih akan melakukan tindakan Korupsi
4.
Maraknya
praktik-praktik money politics. Pemilu langsung ternyata tidak bisa
menghilangkan praktik money politics dimasyarakat, malah setelah pemilihan
presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung praktik money politik semakin meningkat.
5.
Cara Pemilu langsung
dengan menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan
Presiden. konsekuensi dari cara pemilihan semacam akan meningkatkan ketegangan
hubungan antar pendukung pasangan calon sebab penerimaan dan penolakan terhadap
pasangan calon dalam konteks kultur Indonesia lebih banyak disebabkan oleh
hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional.
6.
Besarnya daerah
pemilihan, menyebabkan proses pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan. Sehingga pelanggaran – pelanggaran kampanye
semakin meningkat.
7.
Ketidak siapan pemilih
untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah
melakukan Pemilu langsung, kejadian seperti ini sering terjadi sehingga
menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.
8.
Presiden
tidak bertanngung jawab kepada MPR
9.
Sistem
pemilihan Presiden langsung hanya akan mempersentasikan suara dari pulau jawa.
Tidak dapat
dipungkiri adanya kenyataan bahwa suara pemilih terbesar ada dipulau jawa, yang
sebagian besar tentunya dihuni oleh suku bangsa jawa.Walaupun belum ada
pembuktian konkrit untuk dugaan ini, logika yang mendasarinya cukup bisa
diterima. Dengan begitu bisa diterima pula asumsi bahwa peluang kandidat
yang berasal dari jawa untuk memenangkan pemilihan akan lebih besar
dibandingkan kandidat dari suku bangsa diluar suku bangsa jawa, dan tentunya
ini akan menimbulkan dampak turunan terhadap semakin mencuatnya sentimen anti
jawa dari suku –suku bangsa lainya yang terutama ada diluar jawa.
10.
Sistem ini
akan mengurangi fungsi dan peran MPR secara signifikan.
Dalam sebuah
sistem pemerintahan Presidensil yang menganut sistem perwakilan bikameral ,
fungsi MPR memang tidak akan sama lagi dengan yang ada dalam
konstitusi. MPR yang terdiri dari dua kamar DPR dan DPD akan lebih
terkonsentrasi pada fungsi legislasi dan fungsi kontrol, yang sebenarnya bila
dilihat dari ruang lingkup dan jangkauan dari wewenangnya ( scope and
domain outhority ) lebih baik dan lebih signifikan dalam proses
penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehari-hari. Mengenai tidak adanya
lagi legitimasi MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Mekanisme impachment akan
lebih nyata dan lebih konsisten dengan sistem Presidensial, dibandingkan dengan
mekanisme pertanggungjawaban Presiden yang lebih bersifat abstrak dan
kenyataannya hanya berupa laporan (report) akhir tahun massa jabatan
semata. Sehingga tidaklah tepat kiranya bila dikatakan bahwa sistem pemilihan
Presiden langsung otomatis akan meminggirkan peran dan kedudukan MPR dalam
berhadapan dengan Presiden.
11.
Sistem ini
akan memperlemah kedudukan DPR.
Meningkatnya
legitimasi Presiden tidak berakibat langsung bagi melemahnya kedudukan DPR.
Legitimasi Presiden yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi tujuan
pokok dari sistem presidensial. Namun bukan berarti DPR dan tentunya juga
DPD dalam sebuah sistem perwakilan bikameral akan tetap bisa berperan dalam
memberi arah dan mengawasi kinerja Presiden, melalui wewenang-wewenang yang
secara konstitusional dimilikinya. Perubahan yang justru akan ditimbulkan
adalah terciptanya kondisi yang lebih baik bagi pelaksanaan mekanisme checks
and balances, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, karena DPR dan
DPD semakin tidak diberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada
padanya.
12.
Sistem
Pemilihan ini akan mengurangi atau membatasi kemungkinan dibentuknya suatu
pemerintahan koalisi.
Secara teoritis
sistem pemerintahan Presidensial tidak mengenal pemerintahan
koalisi. Hanya sistem parlementer dan sistem semi parlementer yang membuka
peluang bagi model pemerintahan tersebut. Pada dasarnya alternatif
pemerintahan koalisi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan
kebuntuan proses politik yang terjadi di parlemen sebagai akibat dari tidak
adanya partai pemenang mayoritas dalam pemilihan anggota parlemen, sehingga dua
atau lebih partai politik terpaksa bergabung (Coalition). Untuk
membentuk kabinet yang akan menjalankan roda pemerintahan
sehari-hari.Alternatif lainnya adalah pemerintahan minoritas yang merupakan
suatu cara lain untuk memecah kemandegan politik atas sebab yang
sama. Perbedaannya adalah pemerintahan minoritas hanya diisi oleh
orang-orang berasal dari satu partai politik saja, yang pada umumnya adalah
peraih suara terbanyak diantara partai-partai politik peraih suara lainanya.
Munculnya
fenomena dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid yang diisi oleh orang-orang yang
memiliki latar belakang partai politik yang berbeda-beda, sehingga seolah-olah
merupakan kabinet koalisi, tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa wewenang
untuk menentukan seseorang diangkat dan diberhentikan sebagai menteri hanya
dimiliki oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Hal itu
terpangkat dengan jelas pada saat terjadinya pemberhentian dan pengangkatan
beberapa menteri di massa awal pemerintahan Gus Dur. Oleh karena itu,
perlu disadari bahwa tidak akan pernah terjadi suatu pemerintahan koalisi bila
konstitusi RI tetap menganut sistem presidensial, meskipun sistem pemilihan
presiden tetap dilakukan di MPR. Fenomena pada kabinet pelangi” Gus Dur
mungkin bisa terulang di masa depan, namun kenyataan dalam hal itu hanyalah
wujud dari strategi dan kebijakan politik presiden tidak dapat dipungkiri.
13.
Sistem
pemilihan ini akan memakan biaya besar
Sistem
pemilihan presiden langsung yang ideal memang akan mengeluarkan biaya yang
relatif lebih besar dibandingan dengan pemilihan presiden tidak
langsung. Hal itu dikarenakan dalam pemilihan presiden langsung yang
ideal, waktu pelaksanaan pemilu presiden berbeda dengan waktu pelaksanaan
pemilu anggota legislatif. Dasar pemikirannya adalah untuk meminimalisasi
terjadinya coattail effect. Namun, dengan keterbatasan dana
yang dimiliki negara saat ini, kiranya waktu pemilihan presiden dan waktu
pemilihan anggota legislatif untuk sementara dapat dilakukan secara
bersamaan. Sehingga penambahan biaya yang harus dikeluarkan dapat ditekan
seminimal mungkin.Selain itu, kondisi pendanaan yang terbatas ini juga harus
menjadi bahan pertimbangan pokok untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih
sederhana hanya satu putaran, namun menghasilkan tingkat legitimasi yang
memadai bagi kandidat yang memenangkan pemilihan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan
rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu
yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat
terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta
memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara.
Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang
berkualitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Penyelenggara Pemilu memiliki tugas
menyelenggarakan Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri.
Salah satu faktor penting bagi keberhasilan
penyelenggaraan Pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas Penyelenggara
Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan Pemilu. Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh
undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan
kewenangannya masing-masing.
B. Saran
Pemilu
secara langsung merupakan jalan politik yang terbaik saat ini, yang membuat
semarak praktek demokrasi lokal, akan tetapi Pemilu secara langsung harus
disiapkan dengan lebih matang sehingga kedepan proses pemilihan yang melibatkan
partisipasi rakyat secara langsung lebih bermakna dan mempunyai konstribusi
positif terhadap desentralisasi.
Yang terpenting dari semuanya adalah terciptanya soliditas
dari sesama anggota KPU dan sesama anggota Bawaslu serta Pemerintah. Tugas
menyelenggarakan Pemilu adalah tugas yang maha berat, karena itu soliditas
adalah keharusan. Selain itu, diantara dua lembaga penyelenggara pemilu harus
terdapat kerjasama yang bersifat sinergis. Sinergi antara kedua lembaga penyelenggara
pemilu ini amat menentukan suksesnya Pemilu 2014.
Sesuatu yang harus dingat adalah kita harus memilih
seseorang yang kredibel untuk menjadi wasit dalam sebuah pertaruhan yang besar
karena jika terjadi kesalahan akibat tidak independen implikasinya akan luar
biasa. Semoga harapan pemilu yang jujur dan adil tidak hanya menjadi wacana
namun menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan.
Subscribe to:
Posts (Atom)