Sunday, 27 November 2016

Sinopsis Rencana Penelitian Disertasi Program Doktor Ilmu Sosial tentang Rumah Tidak Layak Huni

PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Budaya adhiluhung Bangsa Indonesia yang dipuji oleh bangsa lain adalah budaya Gotong Royong, budaya ini sangat unik dan penuh toleransi antar manusia, ini juga merupakan salah satu fakta yang membuat indonesia bisa bersatu dari Sabang sampai Merauke, walaupun berbeda agama, suku dan warna kulit
Kita mengetahui bahwa modernisasi dan globalisasi melahirkan corak kehidupan yang sangat komplek, hal ini janganlah sampai membuat bangsa indonesia kehilangan kepribadian sebagai budaya yang kaya akan unsur budayanya yang salah satunya adalah budaya Gotong Royong, hal ini merupakan kekuatan yang luar biasa besarnya sehingga perlu dikembangkan di negeri ini.
Para leluhur pendahulu sudah mewariskan semangat kegotong royongan. Semangat ini yang menjadi warisan sangat berharga bagi generasi penerus bangsa, sebagai salah satu sarana pemersatu bangsa indonesia.Tapi sepertinya saat ini semangat gotong royong mulai hilang / peradaban luntur bersama perkembangan jaman. Memang tidak sepenuhnya hilang, namun secara perlahan – perlahan kebiasaan gotong royong mulai surut terutama di Kota – kota besar. Namun dibeberapa daerah masih bisa dijumpai masyareakat bergotong royong. Tidak sedikit orang memilih mementingkan diri sendiri, orang mulai sibuk dengan kepentingan mereka masing – masing.
1
 
Dibutuhkan pemikir – pemikir yang peduli dan terus berusaha melaksanakan budaya gotong royong, karena warisan leluhur ini lah salah satu yang bisa menjadi pemersatu bangsa. Harapannya akan muncul terobosan baru untuk membangkitkan kembali semangat gotong royong ini, sangat disayangkan apabila nantinya budaya gotong royong ini benar – benar hilang di masyarakat Indonesia.
Presiden Republik Indonesia Pertama Ir. Soekarno dalam salah satu pidatonya, menyampaikan bahwa dasar Indonesia merdeka adalah :
1.      Kebangsaan Indonesia
2.      Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3.      Mufakat atau Demokrasi
4.       Kesejahteraan Sosial
5.      Ketuhanan Yang Maha Esa
Dari Lima silanya tersebut dinamakan pancasila, artinya “azas” atau “dasar”, dan kelima dasar itulah Indonesia berdiri menjadi negara yang kekal abadi. Bung Karno Juga menyampaikan bahwa Lima Sila itu bisa diringkas menjadi tinggal 3 saja yaitu :
1.      Sosio Nasionalisme
2.      Sosio Demokrasi
3.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketiga Sila ini juga bisa diperas menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu Perkataan “Gotong Royong”. Yang masih diharapkan untuk terus menjaga kegotong royongan adalah masyarakat desa. Sehingga desa mampu menjadi penjaga pilar kejayaan semangat bergotong royong di dalam kehidupan bermasyarakat.
Tentu bentuk gotong royong leluhur kita tidak mungkin dipertahankan seutuhnya, hal ini dikarenakan adanya globalisasi peradaban di mana uang menjadi pemicu pudarnya budaya gotong royong, banyak praktek gotong royong yang berkembang di masyarakat yang diganti dengan uang, seperti tidak ikut ronda cukup dengan bayar uang, tidak ikut kerja bhakti cukup dengan uang. Hal ini fenomena yang berkembang di masyarakat, hal ini juga sebenarnya bisa menjadikan luar biasa apabila dimanage dikelola dengan benar dan dijadikan model pemberdayaan masyarakat dalam mengembangkan budaya gotong royong walaupun bentuknya berbeda, yang  penting justru manfaatnya yang bisa dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat miskin, karena hal ini akan menciptakan simbiosis mutualisme antara si kaya dan si miskin. Si kaya dapat mendayagunakan uangnya untuk mensejahterakan Si miskin melalui kegiatan gotong royong.

B.            Fokus dan Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang tersebut di atas maka problem statement dalam penelitian ini adalah menurunnya budaya gotong royong di Kota Banjar, hal ini ada dugaan/asumsi antara lain banyaknya jenis bantuan kepada masyarakat antara lain program bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), sehingga masyarakat cenderung pasif untuk melakukan kegiatan yang bersifat gotong royong.
Dari Pernyataan masalah tersebut, dapat di identifikasikan masalah penelitian sebagai berikut :
1.             Bagaimana pelaksanaan Program Bantuan Rumah Layak Huni (RTLH) di Kota Banjar
2.             Seberapa signifikankah Bantuan Keuangan kepada masyarakat mempengaruhi terhadap budaya gotong royong di msyarakat
3.             Seberapa kuatkah pengaruh kelembagaan di masyarakat bias meningkatkan budaya gotong royong

C.           Tujuan Penelitian dan Kegunaan
-          Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik masyarakat modern dari aspek permasalahan gotong royong dan upaya untuk membangkitkan lagi budaya gotong royong walaupun dalam bentuk yang berbeda karena situasi dan kondisi yang membuat bentuk gotong royong berubah dari aslinya namun manfaat yang dihasilkan dari gotong royong yang modern tetap sama yaitu membangun kebersamaan dalam rangka mensejahterakan masyarakat untuk kepentingan bersama.
-          Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian ini adalah :
1.        Dapat mengetahui karakteristik permasalahan memudarnya budaya gotong royong
2.        Dapat mengetahui suatu gambaran yang komprehensip karakteristik masyarakat modern yang mempengaruhi budaya gotong royong.
3.        Dapat memotivasi kelembagaan masyarakat untuk menumbuhkan kembangkan budaya gotong royong dalam bentuk yang berbeda


D.    Kajian Pustaka
Berbagai kebijakan sedang dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut berbagai bidang kehidupan. Kebijakan yang diimplementasikan menyangkut kebijakan pembangunan, pelayanan, pemberdayaan dan pengaturan atau regulasi sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Secara teoritis kebijakan dapat dipahami dari berbagai pendapat menurut para ahli dalam bidang kebijakan publik.  Secara pemahaman teoritis kebijakan dapat dipahami dari beberapa pendapat ahli, hal tersebut dimaksudkan dalam rangka memberikan pemahaman yang baik dan benar dalam proses penelitian.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut pendapat Wahab (1997:14) mengemukakan bahwa:
Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seseorang aktor politik bekenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapai dalam suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).

Kata kebijakan sering digabungkan atau dikaitkan dengan kata Pemerintah, sehingga menimbulkan pengertian baru yaitu:”Kebijakan Pemerintah”.  Maka dari itu kebijakan pemerintah menjadi ukuran tentang bagaimana pelaksanaan pemerintahan yang baik dalam rangka menjalankan roda pemerintahan.
Selanjutnya Wahab (1997:13) memberi definisi tentang kebijakan pemerintah sebagai berikut:
Kebijakan Pemerintah terdiri dari serangkai keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu dan juga sarana tertentu untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan dekrit-dekrit pemerintah.

Kebijakan Pemerintah harus senantiasa ditunjukan bagi kepentingan seluruh masyarakat. Dalam hal ini Islamy (2000:20-21) menegaskan bahwa: “Kebijakan Pemerintah merupakan serangkaian tindakan yang ditetap dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat”.
Definisi kebijakan menurut Islamy (2000:20-21) di atas menimbulkan pengertian sebagai berikut:
1.    Bahwa kebijakan itu dalam bentuk pendananya berupa penetapan tidakan-tindakan pemerintah;
2.    Bahwa kebijaksanaan itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuknya yang nyata;
3.    Bahwa kebijakan itu baik untuk, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan;
4.    Bahwa kebijakan itu harus senantiasa ditunjukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang lain, mempunyai sifat mengikat dan harus dipatuhi oleh anggota masyarakat.
Dengan demikian sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan dan dilaksanakan oleh badan atau lembaga yang berwenang, harus disahkan terlebih dahulu.
Kebijakan merupakan suatu taktik dan strategi yang digunakan dan diarahkan untuk mencapai yang diinginkan.
Lebih lanjut Raksasataya (dalam Islamy, 2000 : 17) mengemukakan bahwa kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang digunakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat tiga elemen, yaitu:
1.    Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
2.    Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;
3.    Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik dan strategi.

Penggunaan kata kebijakan dan kata kebijaksanaan seringkali digunakan secara bergantian, sehingga terkadang sulit untuk dibedakan pengertiannya. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta (1987 : 115) memberikan pengertian untuk kedua istilah tersebut sebagai berikut :
1.    Kebijakan berarti kepandaian, kemahiran, dan kebijaksanaan. Arti lainnya adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak tentang pemerintah, organisasi, dan sebagainya; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran dan garis haluan.
2.    Kebijaksanaan berarti kepandaian menggunakan akal budinya, pengalaman dan pengetahuannya, arif, tajam pikiran. Selain itu dapat berarti kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian di atas, peneliti mengartikan kebijaksanaan dan keputusan sebabagai kebijakan. Secara etimologis, istilah policy (kebijakan) berasal dari Bahasa Yunani, Sansakerta dan Latin. Akar kata dalam Bahasa Yunani dan Sansakerta yaitu polis (negara kota) dan pur (kota) dikembangkan dalam bahsa Latin menjadi politia (negara) dan akhirnya dalam Bahasa Inggris policie, yang artinya menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.
Dari definisi di atas jelas bahwa kebijakan ini merupakan tindakan yang dilaksanakan langkah demi langkah, dengan menggunakan sarana tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Kebijakan menurut Jones (dalam Silalahi, 1998 : 1) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
1.    goal atau tujuan yang diinginkan
2.    plan atau proposal, yaitu pengertian yang sfesifik untuk mencapai tujuan
3.    decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program
4.    efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak disengaja, primer atau sekunder)

 Kebijakan sering dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan atau kegiatan-kegiatan baik yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok.
Seperti yang dikemukakan oleh Frederick (dalam Wahab, 1997 : 13) sebagai berikut: “Kebijaksanaan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan”.
Sebagai implikasinya, pelaksanaan kebijakan yang berupa peraturan daerah menuntut adanya intitusi dan publik yang menjadi target atau sasaran. Pelaksanaan kebijakan Program Rumah Tidak Layak Huni. Kebijakan ini pada dasarnya harus selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak untuk kesejahteraan bersama secara adil dan merata serta tidak menghilangkan semangat gotong royong di masyarakat.
Gotong royong adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah dan ringan. Gotong royong juga sangat sesuai dengan ajaran islam, Islam menginginkan umatnya saling mencintai, menyayangi dan saling berbagi, itu sangat sejalan dengan prinsip gotong royong. Semangat gotong royong dalam islam juga bisa dijadikan ukuran keimanan seseorang, dalam hal ini Rasulallah SAW. Bersabda dalam hadist yang di riwayatkan Bukhari,Muslim,Tirmidzi,dan Nasai:
“Tidak beriman salah seorang diantara kamu sampai ia mencintai saudaranya sama dengan mencintai dirinya sendiri”.
Sesama muslim adalah saudara, jadi antar sesama muslim kita wajib saling mengasihi, saling tolong menolong dan bekerja sama dalam hal kebaikan(Gotong Royong). Dengan landasan cinta, seorang muslim menjadi penolong bagi muslim yang lain.
Contoh kegiatan yang dapat dilakukan secara bergotong royong antara lain pembangunan fasilitas umum dan membersihkan lingkungan sekitar. Sikap gotong royong itu seharusnya dimiliki oleh seluruh elemen atau lapisan masyarakat baik di kota maupun di pedesaan. Karena, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat melakukan setiap kegiatan dengan cara bergotong royong. Dengan demikian segala sesuatu yang akan dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan dan pastinya pembangunan di daerah tersebut akan semakin lancar dan maju. Bukan itu saja, tetapi dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong maka hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.
Dibandingkan dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri maka akan memperlambat pembangunan di suatu daerah. Karena individualisme itu dapat menimbulkan keserakahan dan kesenjangan diantara masyarakat di kota tersebut.
Perilaku gotong royong pada hakikatnya identik dengan kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini jelas dinyatakan bahwa gotong royong  tidak mengedepankan aspek individualitas, justru kekompakan dalam melakukan suatu tindakan atau pekerjaan tertentu yang  dilakukan atas inspirasi positif dari berbagai pihak.
Perilaku gotong royong bukan sesuatu yang terjadi tanpa dapat diidentifikasi. Dengan adanya perilaku ini, maka secara tidak langsung masyarakat secara umum diberikan beberapa wacana terkait dengan karakteristik yang melekat pada perilaku gotong royong tersebut. Berikut penjelasan yang dimaksudkan.
Gotong-royong sudah tidak dapat dipungkiri lagi sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang turun temurun, sehingga keberadaannya harus dipertahankan. Pola seperti ini merupakan bentuk nyata dari solidaritas mekanik yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, sehingga setiap warga yang terlibat di dalamnya memiliki hak untuk dibantu dan berkewajiban untuk membantu, dengan kata lain di dalamnya terdapat azas timbal balik.
Beberapa karakteristik yang dimungkinkan cukup merepresentasikan perilaku gotong-royong dapat dinyatakan sebagai berikut.
1.        Sebagai sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa dan tidak dimiliki bangsa lain.
2.        Terdapat rasa kebersamaan dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Sebagai bahan pertimbangan bahwa nilai-nilai kebersamaan yang selama ini ada perlu senantiasa dijunjung tinggi dan dilestarikan agar semakin lama tidak semakin memudar. 
3.        Memiliki nilai yang luhur dalam kehidupan.
4.        Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, karena di dalam kegiatan gotong-royong, setiap pekerjaan dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang kedudukan seseorang tetapi memandang keterlibatan dalam suatu proses pekerjaan sampai sesuai dengan yang diharapkan.
5.        Mengandung arti saling membantu yang dilakukan demi kebahagiaan dan kerukunan hidup bermasyarakat.
6.        Suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan sifatnya sukarela tanpa mengharap imbalan apapun dengan tujuan suatu pekerjaan atau kegiatan akan berjalan dengan mudah, lancar dan ringan.

E.     Kerangka Pemikiran
Dengan Penelitian yang sedang atau akan dilaksanakan sekarang, juga dapat digunakan untuk membantah/membenarkan hasil – hasil penelitian sebelumnya dan atau menemukan suatu kajian baru untuk menjawab masalah – masalah yang ada.
Berdasarkan dukungan landasan teoritik yang diperoleh dari eksplorasi teori yang dijadikan rujukan konsepsionable Variabel Penelitian maka dapat disusun kerangka penelitian sebagai berikut :

Diagram kerangka pelnelitian
Proses Analisis
 
 
Text Box: Rujukan Teori
Penguatan Kelembagaan Teori dan lainnya
Text Box: METODE ANALISIS KUANTITATIF
Digunakan untuk mengukur berapa besar pengaruh bantuan keuangan Rumah Tidak Layak Huni di Kota Banjar terhadap menurunnya budaya gotong royong di masyarakat
 












            Kerangka Pemikiran tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.             Komponen - komponen input analisis mencakup/mengenai fenomena yang berkembang dimasyarakat bahwa budaya gotong royong dimasyarakat mulai memudar, kemudian asumsi yang menjadi penyebab memudarnya budaya gotong royong adalah banyaknya jenis bantuan kepada masyarakat yang salah satunya adalah program bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), sebagai judul penelitian desertasi ini. Kemudian dari asumsi tersebut yakni Kajian Terhadap Kebijakan Program Bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Kota Banjar untuk menganalisis masalah tersebut maka penulis mengambil teori – teori yang relevan sebagai rujukan. Penyusunan konsep operasional variabel penelitian, yaitu Teori kelembagaan, Teori Atnografi Sosial dan Teori Perubahan sosial.
2.             Dari input analisis tersebut di atas, maka peneliti akan melakukan proses analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, metode ini untuk mengukur apakah ada sebab akibat antara kemampuan kelembagaan dan budaya gotong royong yang dipandang sebagai variabel antecedent (yang mendahului, penyebab) terhadap menurunnya budaya gotong royong di Kota Banjar yang kami pandang variabel konsekuensi dalam rangka penyajian hipotesis
3.             Kemudian kita akan mendapatkan output analisis, metode analisis data tersebut adalah berupa pokok – pokok kesimpulan dan saran
4.             Kemudian manfaat dari output analisis yang berupa kesimpulan – kesimpulan yang kita sebut sebagai outcome analisis. Mudah – mudahan menjadi model dalam rangka bagaimana cara membangkitkan kembali budaya gotong royong di Kota Banjar, walaupun bentuk gotong royongnya berbeda dengan budaya gotong royong yang selama ini kita kenal karena yang penting adalah rasa kebersamaan dan manfaatnya di rasakan oleh masyarakat miskin bisa mendapatkan penghasilan dari budaya gotong royong dengan model yang baru.
5.             Dengan kerangka pemikiran yang demikian maka peneliti mengasumsikan adanya pengaruh positif ( searah ), karena hasilnya menyuguhkan hubungan kausalitas yang menimbulkan simbiosis mutualisme antara si kaya dan si miskin, hal ini dapat disimpulkan bahwa teori penguatan kelembagaan sangat berpengaruh dengan meningkatnya budaya gotong royong di masyarakat.  
F.     Metode Penelitian
1      Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yakni pendekatan ini memiliki karakteristik alami (natural stting) sebagai sumber data langsung, deskriktif, proses lebih penting dari pada hasil. Ada 6 (enam ) macam metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif yaitu arografis, studi kasus, grounded teory, interaktif, partisifatip dan penelitian tindakan kelas.
Dalam hal ini penelitian yang digunakan adalah penelitian study kasus (case Study) yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang (untuk mengetahui apa yang menyebabkan budaya gotong royong menurun atau memudar)

2      Tempat Penelitian
Penelitian ini bertempat di Pemerintah Kota Banjar yang mengeluarkan kebijakan Program Bantuan RTLH yang digulirkan sejak tahun 2010

3      Instrumen Penelitian
Dalam Penelitian ini, yang menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri

4      Sampel Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah apa yang disebutkan oleh responden (kata-kata) dan tindakan selebihnya adalah tambahan seperti dokumen


5      Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi
1.    Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu untuk mengkonstruksikan orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan kepedulian, dll. Teknik ini untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya secara mendalam yang berhubungan dengan fokus permasalahan.
2.    Observasi
Teknik Observasi dalam penelitian kualitatif observasi diklasifikasikan menurut tiga cara :
Pertama, pengamatan dapat bertindak sebagai partisipan
Kedua, observasi dapat dilakukan secara terus terang atau penyamaan
Ketiga, observasi yang menyangkut latar penelitian dan dalam penelitian ini digunakan teknik observasi yang pertama dimana pengamat bertindak sebagai partisipan
3.    Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman

6      Teknik Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, maka pengolahan dan analisa data adalah suatu proses mencari dan menyusun secara sistematis data diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan mengorganisasikan data kedalam kategori menjabarkan ke dalam unit – unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, serta membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri atau orang lain. Analisa adata dalam kasus ini menggunakan analisis data kualitatif, maka dalam analisis data selama dilapangan peneliti menggunakan model spradley yaitu teknik analisa data yang disebutkan dengan tahapan dalam penelitian.
















DAFTAR PUSTAKA

Dunn, William N. 1998. Kebijakan Pengantar Analisis Publik   Gadjah     Mada     University Press Yogyakarta.

Islamy, M. Irfan. 2000. Prinsip-prinsip  Perumusan  Kebijakan  Negara. Jakarta : Bumi Aksara.

Salusu, 1996, Pengambilan Keputusan Strategik Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta : Penerbit PT. Gramedia.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta, cv.
Wahab, Sholihin Abdul. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Rineka Cipta


Winarno, Budi. 2002, Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Medi Pressindo

Thursday, 19 November 2015

Makalah Keuntungan dan Kerugian Pemilu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan suatu pemerintah berfungsi. Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi. Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara.
Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas. Jadi dalam pemilu untuk memilih secara langsung  Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi/kabupaten/kota, sebagai penyalur aspirasi politik rakyat di wilayah  bersangkutan, guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis diperlukan penyelenggaraan pemilihan umum yang berkualitas sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang ini mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggarakan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum. Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasioanal Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pembrantasan Korupsi harus mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada saat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu saja, untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan Partai Politik yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing Partai politik.

B. Maksud dan tujuan
1.    Maksud
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung diharapkan mendapatkan pemimpin yang berkualitas karena atas keinginan rakyat serta mewujudkan system demokrasi yang sesungguhnya. Pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan atas UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya penyempurnaan atas berbagai materi pengaturan yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu, peserta pemilu, pendaftaran pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pencalonan, kampanye, prinsip umum pemungutan suara, penghitungan suara, pemantauan pemilu, dan penyelesaian sengketa pemilu.
2.    Tujuan
Tujuan pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah terbentuknya undang-undang sebagai landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintahan nasional, dalam rangka mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

C. Landasan Penyempurnaan
1.    Landasan Filosofis
Di dlam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diamanatkan bahwa Presiden dan Wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dalam perwujudannya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Amanat konstitusional tersebut sekaligus memberi arah bagi penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden didasarkan atas pemikiran bahwa penyelenggaraan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan bagian dari proses demokratisasi (kembali) kehidupan politik harus diorientasikan kepada 2 (dua) hal mendasar. Pertama, adalah bagaimana membangun proses pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dapat terselenggara dengan aman dan tertib dan dapat menampung dan mewujudkan harapan dan keinginan seluruh rakyat untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraannya sehingga akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama. Kedua, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dapat menghasilkan pasangan Presiden dan dan Wakil Presiden yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai Kepala Pemerintahan, sehingga harapan seluruh rakyat untuk memiliki pemimpin yang akan mampu menyelenggarakan Pemerintahan Negara dengan sebaik-baiknya.
Pemerintahan negara yang menjadi harapan rakyat tersebut dapat mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Kedua hal tersebut akan dapat dicapai dengan baik jika semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden selalu dapat memahami dan menghayati nilai-nilai kebangsaan dalam memberikan dasar bagi penyempurnaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

2.    Landasan Sosiologis
Orientasi pemikiran sosiologis antara lain menunjukkan adanya perkembangan dinamika masyarakat, dan kecenderungan penilaiannya terhadap pengalaman empiris pada pemilu sebelumnya. Suasana reformasi dimana masyarakat menghendaki perbaikan-perbaikan di bidang politik tak terkecuali perbaikan di bidang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal-hal yang diinginkan diantaranya seperti perlunya transparansi dalam pengelolaan dana kampanye baik dalam penerimaan, pengeluaran, serta pelaporan secara akauntabel, transparansi dalam proses pendafataran pemilih dan penghitungan suara yang harus dilakukan secara tertib mulai tingkat kelurahan atau desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, maupun pada tingkat nasional. 
Dinamika masyarakat juga menghendaki adanya calon yang aspiratif, memiliki kompetensi kepemimpinan nasional dan berkualitas. Spesifikasi calon Presiden dan Wakil Presiden yang demikian merupakan harapan pemilih. Harapn demikian sesuai dengan kecenderungan masyarakat. Mengingat Presiden dan Wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung, tentu rakyat memiliki legitimasi yang langsung pula terhadap kapasitas kepemimpinan pasangan calon terpilih sehingga hak legitimasinya harus mendapat perhatian secara proporsional bahkan sejak awal ketika penyelenggaraan pemilu dimulai.
3.    Landasan Yuridis
Sistem Pemilihan Umum yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memiliki arah, substansi, serta sinergi dengan undang-undang lainnya. Perkembangan dalam Pembangunan politik berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 perlu mendapat perhatian. Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 akan memberi arah lebih lanjut bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyelenggaraan Pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mempunyai kaitan yuridis dengan undang-undang lain. Undang-undang yang berkaitan langsung dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus menjadi dasar yuridis bagi penyempurnaannya. Di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terdapat peran utama yang melibatkan partai politik peserta pemilu. Oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang partai politik harus menjadi dasar juga bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .
Demikian pula hal dengan undang-undang yang mengatur pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD dan bahkan undang-undang yang mengatur mengenai susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
































BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakekat Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan. Kata system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:
a.    Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
b.    Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
c.    Pemerintahan adalah perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintaha negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan.
Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.

Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
a.    sistem pemerintahan presidensial;
b.    sistem pemerintahan parlementer.
Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bahkan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif.
Perkembangan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia
Sistem pemerinatahan negara Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan berubahnya konstitusi yang digunakan di Indonesia.
Adapaun sistem pemerinatahan yang pernah berlangsung anatara lain adalah:
a. Sistem Pemerintahan di bawah UUD 1945, 18 Agustus 1945
b. Sistem Pemerintahan Konstitusi RIS 1949
c. Sistem Pemerintahan di Bawah UUDS 1950
d. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD 1945, 5 Juli 1959
e. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD 1945, Masa Orde Baru
f. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD 1945, Masa Reformasi
Sistem Pemerintahan pada masa Orde Reformasi, dapat kita lihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut :
·      Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan maupun tulisan sesuai pasal 28 UUD 1945 dapat terwujud dengan dikelarkannya UU No 2 / 1999 tentang Partai Politik yang memungkinkan Multipartai
·      Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan keluarnya Ketetapan MPR No. IX/MPR/1998 yang ditindaklanjuti dengan UU N0. 30 / 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (kini sedang menangani kasus KPU)
·      Lembaga legeslatif dan organisasi sosial politik sudah memiliki keberanian untuk menyatakan pendapatnya terhadap ekskutif yang cenderung seimbang dan proporsional
·      Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melalui sidang tahunan dengan menuntut adanya laporan pertanggungjawaban tugas lembaga negara (progress report), UUD 1945 diamandemen, Pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat Presiden dalam sidang istimewanya
·      Dalam amandemen UUD 1945 masa jabatan Presiden paling banyak dua kali masa jabatan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2004, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama denga Presiden, MA, BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD
Di dalam amandemen UUD 1945, ada penegasan tentang Sistem Pemerintahan Presidensial tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat dengan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Sebagai hasil cipta rasa karsa manusia sistem pemerinatahan negara Indonesia pastilah juga memiliki beberapa kelebihan dan juga kekurangan. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sistem pemerintahan negara Indonesia antara lain adalah:
a. Kelebihan Penerapan Sistem Pemerintahan Presidential
·      Pemerintahan (Presiden) akan lebih stabil, karena Menteri-Menterinya bertanggung jawab terhadap yang mengangkat dan memberhentikannya
·      Kedudukan Pemerintah ( Ekskutif ) sama kuat dengan Parlemen, karena sama-sama tidak dapat saling menjatuhkan
·      Presiden sebagai Kepala Pemerintahan ( Ekskutif ), bertanggung jawab kepada yang memilihnya atau yang mengangkatnya sehingga dapat melaksanakan tugas sampai habis masa jabatannya
·      Tidak ada badan atau lembaga oposisi
·      Apabila ada perselisihan antara Ekskutif dan Legeslatif maka yang memutuskan adalah lembaga Yudikatif
·      Presiden hanya bisa dijatuhkan secara yuridis (bila melanggar hukum) bukan secara politis (dalam laporan pertanggungjawaban pada akhir tahun) bila melanggar hukum akan disidang oleh Mahkamah Konstitusi
b. Kekurangan Penerapan Sistem Pemerintahan Presidential
·      Kekuasaan Parlemen terbatas pada kontrol atau pengawasan saja terhadap pelaksanaan pemerintahan karena tidak dapat menjatuhkan Presiden (Ekskutif)
·      Presiden cendrung otoriter karena pengangkatan dan pemberhentian menteri dapat dilakukan sewaktu-waktu oleh Presiden (hak prerogative Presiden) dan Menteri dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan program kerja Presiden
·      Tidak adanya pemisahan yang tegas antara lembaga negara seperti dalam ajaran pemisahan kekuasaan (sparation of power) dari Trias Politika, karena Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power)

B.       Menuju Sistem Pemilu yang Demokratis
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 telah mengantarkan seluruh rakyat Indonesia berpartisipasi dalam menentukan pilihan secara langsung dalam rangka menentukan pemimpin pilihannya. Sistem pemilihan langsung tersebut di atas telah memberikan tempat yang luas bagi tumbuhnya sistem perpolitikan nasional pada satu segi, dan pada segi lain presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat. Karena itu Presiden terpilih berada diatas segala kepentingan dan dapat menjembani berbagai kepentingan tersebut. 
Ada mekanisme kontrol dari rakyat dalam rangka penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ketika pasangan Presiden dan Wakil Presiden terlpilih selama masa pemerintahannya, sehingga Presiden dan Wakil presiden terpilih mempunyai beban konstitusional dalam memenuhi janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye, karena yang demikian adalah juga merupakan harapan rakyat. Hubungan senergis antara pasangan Presiden dan Wakil Presiden dan rakyat pemilih yang dijembatani oleh pemenuhan janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye, memberi gambaran telah terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .
Demikian pula sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung melahirkan check and balance antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang lebih seimbang karena kedua lembaga ini sama kuatnya, tidak ada satu lembaga yang dapat membubarkan lembaga lainnya. Sehingga dalam pengambilan kebijakan, masing-masing lembaga dapat saling bersinergi untuk menghasilkan keputusan yang terbaik bagi rakyat sebagai konstituennya.

C. Menuju Sistem Pemerintahan yang Efektif
Pengertian pemerintahan yang efektif adalah suatu proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata perundangan yang berlaku. Sedangkan pengertian sistem pemerintahan yang efektif adalah suatu pola hubungan antara berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip tertentu untuk menterjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat.
Pentingnya suatu sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak bersumber pada 3 (tiga) alasan utama. Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menerjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas Pemerintah lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang. 
Untuk mendukung tercapainya sistem pemerintahan yang efektif, maka perlu suatu upaya serius untuk menguatkan berbagai elemen sistem pemerintahan bagi kebijakan publik yang aspiratif dan responsif. 
Argumen teoritik pilihan terhadap sistem presidensialisme adalah: pertama, presiden adalah satu-satunya pejabat publik yang dipilih untuk mewakili seluruh rakyat dan wilayah negara. Dengan demikian presiden memiliki mandat yang kuat untuk melaksanakan kehendak rakyat dan wilayah. Asumsinya, dengan mandat yang demikian maka lembaga ini memiliki dasar untuk melaksanakan suatu pemerintahan yang efektif. Kedua, dalam banyak kasus, presiden biasanya dipilih langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti. Dipilih langsung akan membuat kedudukannya tidak tergantung pada dinamika lembaga lain. Hubungan ini memungkinkan stabilitas kelembagaan yang akan berimplikasi kemungkinan tercapainya pemerintahan yang efektif. Ketiga, presiden terpilih memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan nasional secara terencana dan responsif, dan efektif. 
Efektivitas fungsi pemerintahan menghendaki lembaga kepresidenan didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif. Hubungan antara lembaga kepresidenan dan sistem perwakilan yang berimbang akan meletakan fondasi check and balances yang efektif. Secara umum dapat dikatakan bahwa penguatan sistem pemerintahan presidensial membutuhkan penguatan lembaga kepresidenan, penguatan lembaga perwakilan, serta perimbangan hubungan kelembagaan antara presiden dan legislatif.

D. Hubungan Sistem Kepartaian dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Sistem Presidensial.
Beberapa literatur menunjukkan adanya hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama koalisi yang mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota Dewan terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan partai jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain tidak adanya disiplin partai membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan partai sangat juga ditentukan oleh perubahan kontekstual dari konstelasi politik yang ada. 
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat presidensial dengan membuatnya mampu memerintah adalah dengan menyederhanakan jumlah partai. Jumlah partai yang lebih sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto point dan biaya transaksi politik. Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi lebih fokus dan berkualitas. Publik juga akan mudah diinformasikan baik tentang keberadaan konstelasi politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih sederhana.
Sistem kepartaian mempunyai hubungan sinergik dengan sistem Pemilu yang sekaligus menunjukan dianutnya tipe pemilihan umum plural majority dan akan menghasilkan jumlah partai yang lebih sedikit. Selain itu ada pula tipe pemilihan umum sistem representasi proporsional yang akan melahirkan sistem multi partai. Untuk dapat menghasilkan tipe system kepartaian sederhana, maka perlu pengkondisian dalam proses pemilu. Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya biasanya diberikan syarat minimal suara atau electoral threshold.

E.     Keuntungan dan Kerugian Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2005, tentang Pemerintahan Daerah bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala Daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara langsung oleh DPRD, dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2005 tesebut maka pemilihan kepala daerah dilakukan melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat.
Pasal 56 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasang calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Artinya, sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran pelaksanaan kedaulatan, yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD sekarang dilakukan sendiri oleh rakyat.
Adalah hal yang wajar ketika sebuah produk Perundangan yang menegaskan aturan baru dalam konteks politik kenegaraan mendapat banyak tantangan ketika awal ia diajukan ke publik. demikian pula ketika konsep pilkada langsung digagas melalui Undang-Undang 32 tahun 2005, pada awal perumusan dan penetapannya tidak sedikit pihak yang yang memunculkan berbagai ketidaksetujuan dan kekhawatirannya terhadap produk Undang-Undang tersebut, untuk memahami lebih lanjut mengenai pilkada langsung maka penting bagi kita untuk mengetahui pro dan kontra ketika perundang-undangan ini dibuat sehingga kontek pemunculan undang-undang ini menjadi lebih jelas.
Pemilihan Umum secara langsung tentu menimbulkan banyak permasalahan baik dari implikasi politik maupun dampak sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Ada beberapa Keuntungan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
1.      Pemilihan secara langsung  memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam Pemilu dalam arti partisipasi secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan. 
2.      Proses Pemilu secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik.
3.      Presiden mempunyai manfaat legitimasi yang kuat
4.      Sistem lebih accountable
5.      Check and Balance legislatif-eksekutif seimbang
6.      Kriteria calon Presiden dapat dinilai langsung oleh pemilih / masyarakat
Dari pelaksanaan Pemilu secara langsung, ada beberapa permasalahan yang muncul berkaitan dengan persiapan dalam penyelenggaraan pilkada, permasalahan-permasalahan ini harus diantisipasi oleh pemerintah khususnya KPU sebagai pelaksana Pemilu, Jadi berikut kerugian – kerugian Pemilu Secara Langsung antara lain :
1.      Sistem ini memberi peluang kandidat Presiden harus dari Partai besar dan dengan dana yang besar
2.      Beratnya persyaratan pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mencapai 20 % dari suara / kursi DPR RI sehingga bagi calon-calon presiden bukan dari partai besar, kemungkinan kecil dapat mencalonkan.
3.      Partai Politik dan pasangan calon presiden dan Wakil Presiden menghabiskan biaya kampanye yang besar, ditakutkan ketika sudah terpilih akan melakukan tindakan Korupsi
4.      Maraknya praktik-praktik money politics. Pemilu langsung ternyata tidak bisa menghilangkan praktik money politics dimasyarakat, malah setelah pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung praktik money politik semakin meningkat.
5.      Cara Pemilu langsung dengan menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan Presiden. konsekuensi dari cara pemilihan semacam akan meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung pasangan calon sebab penerimaan dan penolakan terhadap pasangan calon dalam konteks kultur Indonesia lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional.
6.      Besarnya daerah pemilihan, menyebabkan proses pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan. Sehingga pelanggaran – pelanggaran kampanye semakin meningkat.
7.      Ketidak siapan pemilih untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah melakukan Pemilu langsung, kejadian seperti ini sering terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.
8.      Presiden tidak bertanngung jawab kepada MPR
9.      Sistem pemilihan Presiden langsung hanya akan mempersentasikan suara dari pulau jawa.
Tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan bahwa suara pemilih terbesar ada dipulau jawa, yang sebagian besar tentunya dihuni oleh suku bangsa jawa.Walaupun belum ada pembuktian konkrit untuk dugaan ini, logika yang mendasarinya cukup bisa diterima. Dengan begitu bisa diterima pula asumsi bahwa peluang kandidat yang berasal dari jawa untuk memenangkan pemilihan akan lebih besar dibandingkan kandidat dari suku bangsa diluar suku bangsa jawa, dan tentunya ini akan menimbulkan dampak turunan terhadap semakin mencuatnya sentimen anti jawa dari suku –suku bangsa lainya yang terutama ada diluar jawa.
10.  Sistem ini akan mengurangi fungsi dan peran MPR secara signifikan.
Dalam sebuah sistem pemerintahan Presidensil yang menganut sistem perwakilan bikameral , fungsi MPR memang tidak akan sama lagi dengan yang ada dalam konstitusi. MPR yang terdiri dari dua kamar DPR dan DPD akan lebih terkonsentrasi pada fungsi legislasi dan fungsi kontrol, yang sebenarnya bila dilihat dari ruang lingkup dan jangkauan dari wewenangnya ( scope and domain outhority ) lebih baik dan lebih signifikan dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehari-hari. Mengenai tidak adanya lagi legitimasi MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Mekanisme impachment akan lebih nyata dan lebih konsisten dengan sistem Presidensial, dibandingkan dengan mekanisme pertanggungjawaban Presiden yang lebih bersifat abstrak dan kenyataannya hanya berupa laporan (report) akhir tahun massa jabatan semata. Sehingga tidaklah tepat kiranya bila dikatakan bahwa sistem pemilihan Presiden langsung otomatis akan meminggirkan peran dan kedudukan MPR dalam berhadapan dengan Presiden.
11.  Sistem ini akan memperlemah kedudukan DPR.
Meningkatnya legitimasi Presiden tidak berakibat langsung bagi melemahnya kedudukan DPR. Legitimasi Presiden yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi tujuan pokok dari sistem presidensial. Namun bukan berarti DPR dan tentunya juga DPD dalam sebuah sistem perwakilan bikameral akan tetap bisa berperan dalam memberi arah dan mengawasi kinerja Presiden, melalui wewenang-wewenang yang secara konstitusional dimilikinya. Perubahan yang justru akan ditimbulkan adalah terciptanya kondisi yang lebih baik bagi pelaksanaan mekanisme checks and balances, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, karena DPR dan DPD semakin tidak diberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya.
12.  Sistem Pemilihan ini akan mengurangi atau membatasi kemungkinan dibentuknya suatu pemerintahan koalisi.
Secara teoritis sistem pemerintahan Presidensial tidak mengenal pemerintahan koalisi. Hanya sistem parlementer dan sistem semi parlementer yang membuka peluang bagi model pemerintahan tersebut. Pada dasarnya alternatif pemerintahan koalisi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan kebuntuan proses politik yang terjadi di parlemen sebagai akibat dari tidak adanya partai pemenang mayoritas dalam pemilihan anggota parlemen, sehingga dua atau lebih partai politik terpaksa bergabung (Coalition). Untuk membentuk kabinet yang akan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.Alternatif lainnya adalah pemerintahan minoritas yang merupakan suatu cara lain untuk memecah kemandegan politik atas sebab yang sama. Perbedaannya adalah pemerintahan minoritas hanya diisi oleh orang-orang berasal dari satu partai politik saja, yang pada umumnya adalah peraih suara terbanyak diantara partai-partai politik peraih suara lainanya.
Munculnya fenomena dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid yang diisi oleh orang-orang yang memiliki latar belakang partai politik yang berbeda-beda, sehingga seolah-olah merupakan kabinet koalisi, tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa wewenang untuk menentukan seseorang diangkat dan diberhentikan sebagai menteri hanya dimiliki oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Hal itu terpangkat dengan jelas pada saat terjadinya pemberhentian dan pengangkatan beberapa menteri di massa awal pemerintahan Gus Dur. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa tidak akan pernah terjadi suatu pemerintahan koalisi bila konstitusi RI tetap menganut sistem presidensial, meskipun sistem pemilihan presiden tetap dilakukan di MPR. Fenomena pada kabinet pelangi” Gus Dur mungkin bisa terulang di masa depan, namun kenyataan dalam hal itu hanyalah wujud dari strategi dan kebijakan politik presiden tidak dapat dipungkiri.
13.  Sistem pemilihan ini akan memakan biaya besar
Sistem pemilihan presiden langsung yang ideal memang akan mengeluarkan biaya yang relatif lebih besar dibandingan dengan pemilihan presiden tidak langsung. Hal itu dikarenakan dalam pemilihan presiden langsung yang ideal, waktu pelaksanaan pemilu presiden berbeda dengan waktu pelaksanaan pemilu anggota legislatif. Dasar pemikirannya adalah untuk meminimalisasi terjadinya coattail effect. Namun, dengan keterbatasan dana yang dimiliki negara saat ini, kiranya waktu pemilihan presiden dan waktu pemilihan anggota legislatif untuk sementara dapat dilakukan secara bersamaan. Sehingga penambahan biaya yang harus dikeluarkan dapat ditekan seminimal mungkin.Selain itu, kondisi pendanaan yang terbatas ini juga harus menjadi bahan pertimbangan pokok untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih sederhana hanya satu putaran, namun menghasilkan tingkat legitimasi yang memadai bagi kandidat yang memenangkan pemilihan.









BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Penyelenggara Pemilu memiliki tugas menyelenggarakan Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan Pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing.
B. Saran
Pemilu secara langsung merupakan jalan politik yang terbaik saat ini, yang membuat semarak praktek demokrasi lokal, akan tetapi Pemilu secara langsung harus disiapkan dengan lebih matang sehingga kedepan proses pemilihan yang melibatkan partisipasi rakyat secara langsung lebih bermakna dan mempunyai konstribusi positif terhadap desentralisasi.
Yang terpenting dari semuanya adalah terciptanya soliditas dari sesama anggota KPU dan sesama anggota Bawaslu serta Pemerintah. Tugas menyelenggarakan Pemilu adalah tugas yang maha berat, karena itu soliditas adalah keharusan. Selain itu, diantara dua lembaga penyelenggara pemilu harus terdapat kerjasama yang bersifat sinergis. Sinergi antara kedua lembaga penyelenggara pemilu ini amat menentukan suksesnya Pemilu 2014.
Sesuatu yang harus dingat adalah kita harus memilih seseorang yang kredibel untuk menjadi wasit dalam sebuah pertaruhan yang besar karena jika terjadi kesalahan akibat tidak independen implikasinya akan luar biasa. Semoga harapan pemilu yang jujur dan adil tidak hanya menjadi wacana namun menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan.