BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur
konstitusional yang menentukan suatu pemerintah berfungsi. Dalam demokrasi,
pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu
struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi.
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara
Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak
sipil dan politik dari warga negara.
Penyelenggara Pemilu
yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas. Jadi
dalam pemilu untuk memilih secara langsung
Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi/kabupaten/kota, sebagai penyalur
aspirasi politik rakyat di wilayah
bersangkutan, guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis diperlukan penyelenggaraan
pemilihan umum yang berkualitas sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang
dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara
pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan
akuntabilitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang –Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan
rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi
rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif,
dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan demokrasi
dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu
perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang ini mengatur mekanisme
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan
Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan
moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Untuk
mewujudkan hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting
yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon Presiden dan Wakil
Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan
selama 5 (lima) tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggarakan sistem
pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau
Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi
Pemilihan Umum. Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan
kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa
Keuangan, Panglima Tentara Nasioanal Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pembrantasan Korupsi harus mengundurkan
diri apabila dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pengunduran
diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga
etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil
bupati, atau walikota/wakil walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada
saat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya
pemimpin golongan atau kelompok tertentu saja, untuk itu, dalam rangka
membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil
Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan Partai Politik yang
pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing Partai politik.
B. Maksud dan
tujuan
1. Maksud
Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung diharapkan mendapatkan pemimpin yang
berkualitas karena atas keinginan rakyat serta mewujudkan system demokrasi yang
sesungguhnya. Pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan atas UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya penyempurnaan atas
berbagai materi pengaturan yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu, peserta
pemilu, pendaftaran pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pencalonan,
kampanye, prinsip umum pemungutan suara, penghitungan suara, pemantauan pemilu,
dan penyelesaian sengketa pemilu.
2. Tujuan
Tujuan pembentukan
UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah terbentuknya undang-undang
sebagai landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil
Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintahan nasional, dalam rangka
mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
C. Landasan
Penyempurnaan
1. Landasan Filosofis
Di dlam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diamanatkan bahwa Presiden
dan Wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
dalam perwujudannya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Amanat
konstitusional tersebut sekaligus memberi arah bagi penyelenggaraan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
Penyempurnaan
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden didasarkan atas
pemikiran bahwa penyelenggaraan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang
merupakan bagian dari proses demokratisasi (kembali) kehidupan politik harus
diorientasikan kepada 2 (dua) hal mendasar. Pertama, adalah bagaimana membangun
proses pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil yang dapat terselenggara dengan aman dan tertib dan dapat menampung dan
mewujudkan harapan dan keinginan seluruh rakyat untuk ikut serta dan
berpartisipasi dalam proses penyelenggaraannya sehingga akan dapat mencapai
tujuan yang dicita-citakan bersama. Kedua, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden dapat menghasilkan pasangan Presiden dan dan Wakil Presiden yang
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai Kepala Pemerintahan, sehingga harapan
seluruh rakyat untuk memiliki pemimpin yang akan mampu menyelenggarakan
Pemerintahan Negara dengan sebaik-baiknya.
Pemerintahan
negara yang menjadi harapan rakyat tersebut dapat mewujudkan pemerintahan yang
baik dan bersih. Kedua hal tersebut akan dapat dicapai dengan baik jika semua
pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
selalu dapat memahami dan menghayati nilai-nilai kebangsaan dalam memberikan
dasar bagi penyempurnaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
2. Landasan Sosiologis
Orientasi
pemikiran sosiologis antara lain menunjukkan adanya perkembangan dinamika
masyarakat, dan kecenderungan penilaiannya terhadap pengalaman empiris pada
pemilu sebelumnya. Suasana reformasi dimana masyarakat menghendaki
perbaikan-perbaikan di bidang politik tak terkecuali perbaikan di bidang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal-hal yang diinginkan diantaranya
seperti perlunya transparansi dalam pengelolaan dana kampanye baik dalam
penerimaan, pengeluaran, serta pelaporan secara akauntabel, transparansi dalam
proses pendafataran pemilih dan penghitungan suara yang harus dilakukan secara
tertib mulai tingkat kelurahan atau desa, kecamatan, kabupaten, provinsi,
maupun pada tingkat nasional.
Dinamika
masyarakat juga menghendaki adanya calon yang aspiratif, memiliki kompetensi
kepemimpinan nasional dan berkualitas. Spesifikasi calon Presiden dan Wakil
Presiden yang demikian merupakan harapan pemilih. Harapn demikian sesuai dengan
kecenderungan masyarakat. Mengingat Presiden dan Wakil presiden dipilih oleh
rakyat secara langsung, tentu rakyat memiliki legitimasi yang langsung pula
terhadap kapasitas kepemimpinan pasangan calon terpilih sehingga hak
legitimasinya harus mendapat perhatian secara proporsional bahkan sejak awal
ketika penyelenggaraan pemilu dimulai.
3. Landasan Yuridis
Sistem Pemilihan
Umum yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah melahirkan
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
memiliki arah, substansi, serta sinergi dengan undang-undang lainnya.
Perkembangan dalam Pembangunan politik berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 perlu
mendapat perhatian. Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
akan memberi arah lebih lanjut bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyelenggaraan
Pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden mempunyai kaitan yuridis dengan undang-undang lain.
Undang-undang yang berkaitan langsung dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus menjadi dasar yuridis bagi
penyempurnaannya. Di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
terdapat peran utama yang melibatkan partai politik peserta pemilu. Oleh karena
itu undang-undang yang mengatur tentang partai politik harus menjadi dasar juga
bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden .
Demikian pula hal dengan
undang-undang yang mengatur pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD dan bahkan
undang-undang yang mengatur mengenai susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Hakekat Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan
berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan. Kata system merupakan
terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan,
jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan
yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata
itu berarti:
a.
Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh
melakukan sesuatau
b.
Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu
wilayah, daerah, atau, Negara.
c.
Pemerintahan adalah perbuatan, cara, hal, urusan dalam
memerintah
Maka dalam arti yang
luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan
legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai
tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintahan adalah
perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya
dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha
diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan
yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan
fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan
menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan
Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan
Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas
undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga
eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintaha negara
menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga negara, dan
bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang
bersangkutan.
Tujuan pemerintahan
negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya,
tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan
Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan
dari pemerintahan di negara Indonesia.
Sistem pemerintahan
negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
a.
sistem pemerintahan presidensial;
b.
sistem pemerintahan parlementer.
Pada umumnya,
negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut.
Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari
dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari
negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bahkan, Inggris disebut
sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat
merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Klasifikasi sistem
pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara
kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer
apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat
pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut
presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan
legislatif.
Perkembangan Sistem Pemerintahan
Negara Indonesia
Sistem pemerinatahan
negara Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan
berubahnya konstitusi yang digunakan di Indonesia.
Adapaun sistem
pemerinatahan yang pernah berlangsung anatara lain adalah:
a. Sistem Pemerintahan di bawah UUD
1945, 18 Agustus 1945
b. Sistem Pemerintahan Konstitusi RIS
1949
c. Sistem Pemerintahan di Bawah UUDS
1950
d. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD
1945, 5 Juli 1959
e. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD
1945, Masa Orde Baru
f. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD
1945, Masa Reformasi
Sistem Pemerintahan
pada masa Orde Reformasi, dapat kita lihat berdasarkan aktivitas politik
kenegaraan sebagai berikut :
·
Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak
yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik
lisan maupun tulisan sesuai pasal 28 UUD 1945 dapat terwujud dengan
dikelarkannya UU No 2 / 1999 tentang Partai Politik yang memungkinkan
Multipartai
·
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan keluarnya Ketetapan MPR
No. IX/MPR/1998 yang ditindaklanjuti dengan UU N0. 30 / 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (kini sedang menangani kasus KPU)
·
Lembaga legeslatif dan organisasi sosial politik
sudah memiliki keberanian untuk menyatakan pendapatnya terhadap ekskutif yang
cenderung seimbang dan proporsional
·
Lembaga MPR sudah berani mengambil
langkah-langkah politis melalui sidang tahunan dengan menuntut adanya laporan
pertanggungjawaban tugas lembaga negara (progress report), UUD 1945
diamandemen, Pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat
Presiden dalam sidang istimewanya
·
Dalam amandemen UUD 1945 masa jabatan Presiden
paling banyak dua kali masa jabatan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih
langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2004, MPR tidak lagi lembaga tertinggi
negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama denga Presiden, MA, BPK,
kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD
Di dalam amandemen
UUD 1945, ada penegasan tentang Sistem Pemerintahan Presidensial tetap
dipertahankan dan bahkan diperkuat dengan mekanisme pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung.
Sebagai hasil cipta
rasa karsa manusia sistem pemerinatahan negara Indonesia pastilah juga memiliki
beberapa kelebihan dan juga kekurangan. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki
sistem pemerintahan negara Indonesia antara lain adalah:
a. Kelebihan
Penerapan Sistem Pemerintahan Presidential
·
Pemerintahan (Presiden) akan lebih stabil,
karena Menteri-Menterinya bertanggung jawab terhadap yang mengangkat dan
memberhentikannya
·
Kedudukan Pemerintah ( Ekskutif ) sama kuat
dengan Parlemen, karena sama-sama tidak dapat saling menjatuhkan
·
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan ( Ekskutif
), bertanggung jawab kepada yang memilihnya atau yang mengangkatnya sehingga
dapat melaksanakan tugas sampai habis masa jabatannya
·
Tidak ada badan atau lembaga oposisi
·
Apabila ada perselisihan antara Ekskutif dan
Legeslatif maka yang memutuskan adalah lembaga Yudikatif
·
Presiden hanya bisa dijatuhkan secara yuridis
(bila melanggar hukum) bukan secara politis (dalam laporan pertanggungjawaban
pada akhir tahun) bila melanggar hukum akan disidang oleh Mahkamah Konstitusi
b. Kekurangan
Penerapan Sistem Pemerintahan Presidential
·
Kekuasaan Parlemen terbatas pada kontrol atau
pengawasan saja terhadap pelaksanaan pemerintahan karena tidak dapat
menjatuhkan Presiden (Ekskutif)
·
Presiden cendrung otoriter karena pengangkatan
dan pemberhentian menteri dapat dilakukan sewaktu-waktu oleh Presiden (hak
prerogative Presiden) dan Menteri dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai
dengan program kerja Presiden
·
Tidak adanya pemisahan yang tegas antara lembaga
negara seperti dalam ajaran pemisahan kekuasaan (sparation of power) dari Trias
Politika, karena Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of
power)
B. Menuju
Sistem Pemilu yang Demokratis
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 telah mengantarkan seluruh rakyat Indonesia
berpartisipasi dalam menentukan pilihan secara langsung dalam rangka menentukan
pemimpin pilihannya. Sistem pemilihan langsung tersebut di atas telah
memberikan tempat yang luas bagi tumbuhnya sistem perpolitikan nasional pada
satu segi, dan pada segi lain presiden terpilih akan memiliki mandat dan
legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat. Karena itu
Presiden terpilih berada diatas segala kepentingan dan dapat menjembani
berbagai kepentingan tersebut.
Ada mekanisme kontrol dari rakyat dalam rangka
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ketika pasangan Presiden dan
Wakil Presiden terlpilih selama masa pemerintahannya, sehingga Presiden dan
Wakil presiden terpilih mempunyai beban konstitusional dalam memenuhi
janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye,
karena yang demikian adalah juga merupakan harapan rakyat. Hubungan senergis
antara pasangan Presiden dan Wakil Presiden dan rakyat pemilih yang dijembatani
oleh pemenuhan janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa
kampanye, memberi gambaran telah terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .
Demikian pula sistem Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung melahirkan check and balance antara lembaga legislatif
dan lembaga eksekutif yang lebih seimbang karena kedua lembaga ini sama
kuatnya, tidak ada satu lembaga yang dapat membubarkan lembaga lainnya.
Sehingga dalam pengambilan kebijakan, masing-masing lembaga dapat saling
bersinergi untuk menghasilkan keputusan yang terbaik bagi rakyat sebagai
konstituennya.
C. Menuju Sistem Pemerintahan yang Efektif
Pengertian pemerintahan yang efektif adalah suatu
proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik
yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata perundangan
yang berlaku. Sedangkan pengertian sistem pemerintahan yang efektif adalah
suatu pola hubungan antara berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka
pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip
tertentu untuk menterjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat.
Pentingnya suatu sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak bersumber pada 3 (tiga) alasan utama. Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menerjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas Pemerintah lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang.
Pentingnya suatu sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak bersumber pada 3 (tiga) alasan utama. Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menerjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas Pemerintah lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang.
Untuk mendukung tercapainya sistem pemerintahan yang
efektif, maka perlu suatu upaya serius untuk menguatkan berbagai elemen sistem
pemerintahan bagi kebijakan publik yang aspiratif dan responsif.
Argumen teoritik pilihan terhadap sistem
presidensialisme adalah: pertama, presiden adalah satu-satunya pejabat publik
yang dipilih untuk mewakili seluruh rakyat dan wilayah negara. Dengan demikian
presiden memiliki mandat yang kuat untuk melaksanakan kehendak rakyat dan
wilayah. Asumsinya, dengan mandat yang demikian maka lembaga ini memiliki dasar
untuk melaksanakan suatu pemerintahan yang efektif. Kedua, dalam banyak kasus,
presiden biasanya dipilih langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti.
Dipilih langsung akan membuat kedudukannya tidak tergantung pada dinamika
lembaga lain. Hubungan ini memungkinkan stabilitas kelembagaan yang akan
berimplikasi kemungkinan tercapainya pemerintahan yang efektif. Ketiga,
presiden terpilih memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan nasional secara
terencana dan responsif, dan efektif.
Efektivitas fungsi pemerintahan menghendaki lembaga
kepresidenan didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif.
Hubungan antara lembaga kepresidenan dan sistem perwakilan yang berimbang akan
meletakan fondasi check and balances yang efektif. Secara umum dapat dikatakan
bahwa penguatan sistem pemerintahan presidensial membutuhkan penguatan lembaga
kepresidenan, penguatan lembaga perwakilan, serta perimbangan hubungan
kelembagaan antara presiden dan legislatif.
D. Hubungan Sistem Kepartaian dalam Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden dengan Sistem Presidensial.
Beberapa literatur menunjukkan adanya hubungan yang
relatif konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya dengan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang
bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi
sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami
kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya
mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama koalisi yang
mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk
menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya.
Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota Dewan terhadap kesepakatan yang
dibuat pimpinan partai jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain tidak adanya
disiplin partai membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti.
Perubahan dukungan dari pimpinan partai sangat juga ditentukan oleh perubahan
kontekstual dari konstelasi politik yang ada.
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat presidensial
dengan membuatnya mampu memerintah adalah dengan menyederhanakan jumlah partai.
Jumlah partai yang lebih sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto
point dan biaya transaksi politik. Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi
lebih fokus dan berkualitas. Publik juga akan mudah diinformasikan baik tentang
keberadaan konstelasi politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan
politik lebih sederhana.
Sistem kepartaian mempunyai hubungan sinergik dengan
sistem Pemilu yang sekaligus menunjukan dianutnya tipe pemilihan umum plural
majority dan akan menghasilkan jumlah partai yang lebih sedikit. Selain itu ada
pula tipe pemilihan umum sistem representasi proporsional yang akan melahirkan
sistem multi partai. Untuk dapat menghasilkan tipe system kepartaian sederhana,
maka perlu pengkondisian dalam proses pemilu. Untuk dapat mengikuti pemilu
berikutnya biasanya diberikan syarat minimal suara atau electoral threshold.
E. Keuntungan dan Kerugian Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung
Dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2005, tentang Pemerintahan Daerah
bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata
pemerintahan di tingkat lokal. Kepala Daerah, baik bupati/walikota maupun
gubernur yang sebelumnya dipilih secara langsung oleh DPRD, dengan
Undang-undang Nomor 32 tahun 2005 tesebut maka pemilihan kepala daerah
dilakukan melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat.
Pasal
56 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasang calon yang dilaksanakan secara demokratis,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Artinya, sejak kepala daerah
dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran
pelaksanaan kedaulatan, yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh
DPRD sekarang dilakukan sendiri oleh rakyat.
Adalah
hal yang wajar ketika sebuah produk Perundangan yang menegaskan aturan baru
dalam konteks politik kenegaraan mendapat banyak tantangan ketika awal ia
diajukan ke publik. demikian pula ketika konsep pilkada langsung digagas
melalui Undang-Undang 32 tahun 2005, pada awal perumusan dan penetapannya tidak
sedikit pihak yang yang memunculkan berbagai ketidaksetujuan dan kekhawatirannya
terhadap produk Undang-Undang tersebut, untuk memahami lebih lanjut mengenai
pilkada langsung maka penting bagi kita untuk mengetahui pro dan kontra ketika
perundang-undangan ini dibuat sehingga kontek pemunculan undang-undang ini
menjadi lebih jelas.
Pemilihan
Umum secara langsung tentu menimbulkan banyak permasalahan baik dari implikasi
politik maupun dampak sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Ada
beberapa Keuntungan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
1.
Pemilihan secara
langsung memungkinkan proses yang lebih
Partisipasi. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang
lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam Pemilu dalam arti partisipasi
secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan
rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan.
2.
Proses Pemilu secara
langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk
menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin
yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan
dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan
terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik.
3.
Presiden
mempunyai manfaat legitimasi yang kuat
4.
Sistem
lebih accountable
5.
Check
and Balance legislatif-eksekutif seimbang
6.
Kriteria
calon Presiden dapat dinilai langsung oleh pemilih / masyarakat
Dari
pelaksanaan Pemilu secara langsung, ada beberapa permasalahan yang muncul
berkaitan dengan persiapan dalam penyelenggaraan pilkada,
permasalahan-permasalahan ini harus diantisipasi oleh pemerintah khususnya KPU
sebagai pelaksana Pemilu, Jadi berikut kerugian – kerugian Pemilu Secara
Langsung antara lain :
1.
Sistem
ini memberi peluang kandidat Presiden harus dari Partai besar dan dengan dana
yang besar
2.
Beratnya persyaratan
pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mencapai 20 % dari suara /
kursi DPR RI sehingga bagi calon-calon presiden bukan dari partai besar,
kemungkinan kecil dapat mencalonkan.
3.
Partai Politik dan pasangan calon
presiden dan Wakil Presiden menghabiskan biaya kampanye yang besar, ditakutkan
ketika sudah terpilih akan melakukan tindakan Korupsi
4.
Maraknya
praktik-praktik money politics. Pemilu langsung ternyata tidak bisa
menghilangkan praktik money politics dimasyarakat, malah setelah pemilihan
presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung praktik money politik semakin meningkat.
5.
Cara Pemilu langsung
dengan menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan
Presiden. konsekuensi dari cara pemilihan semacam akan meningkatkan ketegangan
hubungan antar pendukung pasangan calon sebab penerimaan dan penolakan terhadap
pasangan calon dalam konteks kultur Indonesia lebih banyak disebabkan oleh
hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional.
6.
Besarnya daerah
pemilihan, menyebabkan proses pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan. Sehingga pelanggaran – pelanggaran kampanye
semakin meningkat.
7.
Ketidak siapan pemilih
untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah
melakukan Pemilu langsung, kejadian seperti ini sering terjadi sehingga
menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.
8.
Presiden
tidak bertanngung jawab kepada MPR
9.
Sistem
pemilihan Presiden langsung hanya akan mempersentasikan suara dari pulau jawa.
Tidak dapat
dipungkiri adanya kenyataan bahwa suara pemilih terbesar ada dipulau jawa, yang
sebagian besar tentunya dihuni oleh suku bangsa jawa.Walaupun belum ada
pembuktian konkrit untuk dugaan ini, logika yang mendasarinya cukup bisa
diterima. Dengan begitu bisa diterima pula asumsi bahwa peluang kandidat
yang berasal dari jawa untuk memenangkan pemilihan akan lebih besar
dibandingkan kandidat dari suku bangsa diluar suku bangsa jawa, dan tentunya
ini akan menimbulkan dampak turunan terhadap semakin mencuatnya sentimen anti
jawa dari suku –suku bangsa lainya yang terutama ada diluar jawa.
10.
Sistem ini
akan mengurangi fungsi dan peran MPR secara signifikan.
Dalam sebuah
sistem pemerintahan Presidensil yang menganut sistem perwakilan bikameral ,
fungsi MPR memang tidak akan sama lagi dengan yang ada dalam
konstitusi. MPR yang terdiri dari dua kamar DPR dan DPD akan lebih
terkonsentrasi pada fungsi legislasi dan fungsi kontrol, yang sebenarnya bila
dilihat dari ruang lingkup dan jangkauan dari wewenangnya ( scope and
domain outhority ) lebih baik dan lebih signifikan dalam proses
penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehari-hari. Mengenai tidak adanya
lagi legitimasi MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Mekanisme impachment akan
lebih nyata dan lebih konsisten dengan sistem Presidensial, dibandingkan dengan
mekanisme pertanggungjawaban Presiden yang lebih bersifat abstrak dan
kenyataannya hanya berupa laporan (report) akhir tahun massa jabatan
semata. Sehingga tidaklah tepat kiranya bila dikatakan bahwa sistem pemilihan
Presiden langsung otomatis akan meminggirkan peran dan kedudukan MPR dalam
berhadapan dengan Presiden.
11.
Sistem ini
akan memperlemah kedudukan DPR.
Meningkatnya
legitimasi Presiden tidak berakibat langsung bagi melemahnya kedudukan DPR.
Legitimasi Presiden yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi tujuan
pokok dari sistem presidensial. Namun bukan berarti DPR dan tentunya juga
DPD dalam sebuah sistem perwakilan bikameral akan tetap bisa berperan dalam
memberi arah dan mengawasi kinerja Presiden, melalui wewenang-wewenang yang
secara konstitusional dimilikinya. Perubahan yang justru akan ditimbulkan
adalah terciptanya kondisi yang lebih baik bagi pelaksanaan mekanisme checks
and balances, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, karena DPR dan
DPD semakin tidak diberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada
padanya.
12.
Sistem
Pemilihan ini akan mengurangi atau membatasi kemungkinan dibentuknya suatu
pemerintahan koalisi.
Secara teoritis
sistem pemerintahan Presidensial tidak mengenal pemerintahan
koalisi. Hanya sistem parlementer dan sistem semi parlementer yang membuka
peluang bagi model pemerintahan tersebut. Pada dasarnya alternatif
pemerintahan koalisi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan
kebuntuan proses politik yang terjadi di parlemen sebagai akibat dari tidak
adanya partai pemenang mayoritas dalam pemilihan anggota parlemen, sehingga dua
atau lebih partai politik terpaksa bergabung (Coalition). Untuk
membentuk kabinet yang akan menjalankan roda pemerintahan
sehari-hari.Alternatif lainnya adalah pemerintahan minoritas yang merupakan
suatu cara lain untuk memecah kemandegan politik atas sebab yang
sama. Perbedaannya adalah pemerintahan minoritas hanya diisi oleh
orang-orang berasal dari satu partai politik saja, yang pada umumnya adalah
peraih suara terbanyak diantara partai-partai politik peraih suara lainanya.
Munculnya
fenomena dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid yang diisi oleh orang-orang yang
memiliki latar belakang partai politik yang berbeda-beda, sehingga seolah-olah
merupakan kabinet koalisi, tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa wewenang
untuk menentukan seseorang diangkat dan diberhentikan sebagai menteri hanya
dimiliki oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Hal itu
terpangkat dengan jelas pada saat terjadinya pemberhentian dan pengangkatan
beberapa menteri di massa awal pemerintahan Gus Dur. Oleh karena itu,
perlu disadari bahwa tidak akan pernah terjadi suatu pemerintahan koalisi bila
konstitusi RI tetap menganut sistem presidensial, meskipun sistem pemilihan
presiden tetap dilakukan di MPR. Fenomena pada kabinet pelangi” Gus Dur
mungkin bisa terulang di masa depan, namun kenyataan dalam hal itu hanyalah
wujud dari strategi dan kebijakan politik presiden tidak dapat dipungkiri.
13.
Sistem
pemilihan ini akan memakan biaya besar
Sistem
pemilihan presiden langsung yang ideal memang akan mengeluarkan biaya yang
relatif lebih besar dibandingan dengan pemilihan presiden tidak
langsung. Hal itu dikarenakan dalam pemilihan presiden langsung yang
ideal, waktu pelaksanaan pemilu presiden berbeda dengan waktu pelaksanaan
pemilu anggota legislatif. Dasar pemikirannya adalah untuk meminimalisasi
terjadinya coattail effect. Namun, dengan keterbatasan dana
yang dimiliki negara saat ini, kiranya waktu pemilihan presiden dan waktu
pemilihan anggota legislatif untuk sementara dapat dilakukan secara
bersamaan. Sehingga penambahan biaya yang harus dikeluarkan dapat ditekan
seminimal mungkin.Selain itu, kondisi pendanaan yang terbatas ini juga harus
menjadi bahan pertimbangan pokok untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih
sederhana hanya satu putaran, namun menghasilkan tingkat legitimasi yang
memadai bagi kandidat yang memenangkan pemilihan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan
rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu
yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat
terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta
memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara.
Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang
berkualitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Penyelenggara Pemilu memiliki tugas
menyelenggarakan Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri.
Salah satu faktor penting bagi keberhasilan
penyelenggaraan Pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas Penyelenggara
Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan Pemilu. Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh
undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan
kewenangannya masing-masing.
B. Saran
Pemilu
secara langsung merupakan jalan politik yang terbaik saat ini, yang membuat
semarak praktek demokrasi lokal, akan tetapi Pemilu secara langsung harus
disiapkan dengan lebih matang sehingga kedepan proses pemilihan yang melibatkan
partisipasi rakyat secara langsung lebih bermakna dan mempunyai konstribusi
positif terhadap desentralisasi.
Yang terpenting dari semuanya adalah terciptanya soliditas
dari sesama anggota KPU dan sesama anggota Bawaslu serta Pemerintah. Tugas
menyelenggarakan Pemilu adalah tugas yang maha berat, karena itu soliditas
adalah keharusan. Selain itu, diantara dua lembaga penyelenggara pemilu harus
terdapat kerjasama yang bersifat sinergis. Sinergi antara kedua lembaga penyelenggara
pemilu ini amat menentukan suksesnya Pemilu 2014.
Sesuatu yang harus dingat adalah kita harus memilih
seseorang yang kredibel untuk menjadi wasit dalam sebuah pertaruhan yang besar
karena jika terjadi kesalahan akibat tidak independen implikasinya akan luar
biasa. Semoga harapan pemilu yang jujur dan adil tidak hanya menjadi wacana
namun menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan.