Thursday, 19 November 2015

Makalah Keuntungan dan Kerugian Pemilu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan suatu pemerintah berfungsi. Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi. Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara.
Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas. Jadi dalam pemilu untuk memilih secara langsung  Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi/kabupaten/kota, sebagai penyalur aspirasi politik rakyat di wilayah  bersangkutan, guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis diperlukan penyelenggaraan pemilihan umum yang berkualitas sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang ini mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggarakan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum. Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasioanal Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pembrantasan Korupsi harus mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada saat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu saja, untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan Partai Politik yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing Partai politik.

B. Maksud dan tujuan
1.    Maksud
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung diharapkan mendapatkan pemimpin yang berkualitas karena atas keinginan rakyat serta mewujudkan system demokrasi yang sesungguhnya. Pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan atas UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya penyempurnaan atas berbagai materi pengaturan yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu, peserta pemilu, pendaftaran pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pencalonan, kampanye, prinsip umum pemungutan suara, penghitungan suara, pemantauan pemilu, dan penyelesaian sengketa pemilu.
2.    Tujuan
Tujuan pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah terbentuknya undang-undang sebagai landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintahan nasional, dalam rangka mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

C. Landasan Penyempurnaan
1.    Landasan Filosofis
Di dlam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diamanatkan bahwa Presiden dan Wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dalam perwujudannya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Amanat konstitusional tersebut sekaligus memberi arah bagi penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden didasarkan atas pemikiran bahwa penyelenggaraan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan bagian dari proses demokratisasi (kembali) kehidupan politik harus diorientasikan kepada 2 (dua) hal mendasar. Pertama, adalah bagaimana membangun proses pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dapat terselenggara dengan aman dan tertib dan dapat menampung dan mewujudkan harapan dan keinginan seluruh rakyat untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraannya sehingga akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama. Kedua, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dapat menghasilkan pasangan Presiden dan dan Wakil Presiden yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai Kepala Pemerintahan, sehingga harapan seluruh rakyat untuk memiliki pemimpin yang akan mampu menyelenggarakan Pemerintahan Negara dengan sebaik-baiknya.
Pemerintahan negara yang menjadi harapan rakyat tersebut dapat mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Kedua hal tersebut akan dapat dicapai dengan baik jika semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden selalu dapat memahami dan menghayati nilai-nilai kebangsaan dalam memberikan dasar bagi penyempurnaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

2.    Landasan Sosiologis
Orientasi pemikiran sosiologis antara lain menunjukkan adanya perkembangan dinamika masyarakat, dan kecenderungan penilaiannya terhadap pengalaman empiris pada pemilu sebelumnya. Suasana reformasi dimana masyarakat menghendaki perbaikan-perbaikan di bidang politik tak terkecuali perbaikan di bidang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal-hal yang diinginkan diantaranya seperti perlunya transparansi dalam pengelolaan dana kampanye baik dalam penerimaan, pengeluaran, serta pelaporan secara akauntabel, transparansi dalam proses pendafataran pemilih dan penghitungan suara yang harus dilakukan secara tertib mulai tingkat kelurahan atau desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, maupun pada tingkat nasional. 
Dinamika masyarakat juga menghendaki adanya calon yang aspiratif, memiliki kompetensi kepemimpinan nasional dan berkualitas. Spesifikasi calon Presiden dan Wakil Presiden yang demikian merupakan harapan pemilih. Harapn demikian sesuai dengan kecenderungan masyarakat. Mengingat Presiden dan Wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung, tentu rakyat memiliki legitimasi yang langsung pula terhadap kapasitas kepemimpinan pasangan calon terpilih sehingga hak legitimasinya harus mendapat perhatian secara proporsional bahkan sejak awal ketika penyelenggaraan pemilu dimulai.
3.    Landasan Yuridis
Sistem Pemilihan Umum yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memiliki arah, substansi, serta sinergi dengan undang-undang lainnya. Perkembangan dalam Pembangunan politik berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 perlu mendapat perhatian. Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 akan memberi arah lebih lanjut bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyelenggaraan Pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mempunyai kaitan yuridis dengan undang-undang lain. Undang-undang yang berkaitan langsung dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus menjadi dasar yuridis bagi penyempurnaannya. Di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terdapat peran utama yang melibatkan partai politik peserta pemilu. Oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang partai politik harus menjadi dasar juga bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .
Demikian pula hal dengan undang-undang yang mengatur pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD dan bahkan undang-undang yang mengatur mengenai susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
































BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakekat Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan. Kata system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:
a.    Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
b.    Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
c.    Pemerintahan adalah perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintaha negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan.
Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.

Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
a.    sistem pemerintahan presidensial;
b.    sistem pemerintahan parlementer.
Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bahkan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif.
Perkembangan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia
Sistem pemerinatahan negara Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan berubahnya konstitusi yang digunakan di Indonesia.
Adapaun sistem pemerinatahan yang pernah berlangsung anatara lain adalah:
a. Sistem Pemerintahan di bawah UUD 1945, 18 Agustus 1945
b. Sistem Pemerintahan Konstitusi RIS 1949
c. Sistem Pemerintahan di Bawah UUDS 1950
d. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD 1945, 5 Juli 1959
e. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD 1945, Masa Orde Baru
f. Sistem Pemerintahan di Bawah UUD 1945, Masa Reformasi
Sistem Pemerintahan pada masa Orde Reformasi, dapat kita lihat berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut :
·      Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan maupun tulisan sesuai pasal 28 UUD 1945 dapat terwujud dengan dikelarkannya UU No 2 / 1999 tentang Partai Politik yang memungkinkan Multipartai
·      Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan keluarnya Ketetapan MPR No. IX/MPR/1998 yang ditindaklanjuti dengan UU N0. 30 / 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (kini sedang menangani kasus KPU)
·      Lembaga legeslatif dan organisasi sosial politik sudah memiliki keberanian untuk menyatakan pendapatnya terhadap ekskutif yang cenderung seimbang dan proporsional
·      Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melalui sidang tahunan dengan menuntut adanya laporan pertanggungjawaban tugas lembaga negara (progress report), UUD 1945 diamandemen, Pimpinan MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat Presiden dalam sidang istimewanya
·      Dalam amandemen UUD 1945 masa jabatan Presiden paling banyak dua kali masa jabatan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat mulai dari pemilu 2004, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang kedudukannya sama denga Presiden, MA, BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi ditangan MPR melainkan menurut UUD
Di dalam amandemen UUD 1945, ada penegasan tentang Sistem Pemerintahan Presidensial tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat dengan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Sebagai hasil cipta rasa karsa manusia sistem pemerinatahan negara Indonesia pastilah juga memiliki beberapa kelebihan dan juga kekurangan. Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sistem pemerintahan negara Indonesia antara lain adalah:
a. Kelebihan Penerapan Sistem Pemerintahan Presidential
·      Pemerintahan (Presiden) akan lebih stabil, karena Menteri-Menterinya bertanggung jawab terhadap yang mengangkat dan memberhentikannya
·      Kedudukan Pemerintah ( Ekskutif ) sama kuat dengan Parlemen, karena sama-sama tidak dapat saling menjatuhkan
·      Presiden sebagai Kepala Pemerintahan ( Ekskutif ), bertanggung jawab kepada yang memilihnya atau yang mengangkatnya sehingga dapat melaksanakan tugas sampai habis masa jabatannya
·      Tidak ada badan atau lembaga oposisi
·      Apabila ada perselisihan antara Ekskutif dan Legeslatif maka yang memutuskan adalah lembaga Yudikatif
·      Presiden hanya bisa dijatuhkan secara yuridis (bila melanggar hukum) bukan secara politis (dalam laporan pertanggungjawaban pada akhir tahun) bila melanggar hukum akan disidang oleh Mahkamah Konstitusi
b. Kekurangan Penerapan Sistem Pemerintahan Presidential
·      Kekuasaan Parlemen terbatas pada kontrol atau pengawasan saja terhadap pelaksanaan pemerintahan karena tidak dapat menjatuhkan Presiden (Ekskutif)
·      Presiden cendrung otoriter karena pengangkatan dan pemberhentian menteri dapat dilakukan sewaktu-waktu oleh Presiden (hak prerogative Presiden) dan Menteri dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan program kerja Presiden
·      Tidak adanya pemisahan yang tegas antara lembaga negara seperti dalam ajaran pemisahan kekuasaan (sparation of power) dari Trias Politika, karena Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power)

B.       Menuju Sistem Pemilu yang Demokratis
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 telah mengantarkan seluruh rakyat Indonesia berpartisipasi dalam menentukan pilihan secara langsung dalam rangka menentukan pemimpin pilihannya. Sistem pemilihan langsung tersebut di atas telah memberikan tempat yang luas bagi tumbuhnya sistem perpolitikan nasional pada satu segi, dan pada segi lain presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat. Karena itu Presiden terpilih berada diatas segala kepentingan dan dapat menjembani berbagai kepentingan tersebut. 
Ada mekanisme kontrol dari rakyat dalam rangka penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ketika pasangan Presiden dan Wakil Presiden terlpilih selama masa pemerintahannya, sehingga Presiden dan Wakil presiden terpilih mempunyai beban konstitusional dalam memenuhi janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye, karena yang demikian adalah juga merupakan harapan rakyat. Hubungan senergis antara pasangan Presiden dan Wakil Presiden dan rakyat pemilih yang dijembatani oleh pemenuhan janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye, memberi gambaran telah terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .
Demikian pula sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung melahirkan check and balance antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang lebih seimbang karena kedua lembaga ini sama kuatnya, tidak ada satu lembaga yang dapat membubarkan lembaga lainnya. Sehingga dalam pengambilan kebijakan, masing-masing lembaga dapat saling bersinergi untuk menghasilkan keputusan yang terbaik bagi rakyat sebagai konstituennya.

C. Menuju Sistem Pemerintahan yang Efektif
Pengertian pemerintahan yang efektif adalah suatu proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata perundangan yang berlaku. Sedangkan pengertian sistem pemerintahan yang efektif adalah suatu pola hubungan antara berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip tertentu untuk menterjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat.
Pentingnya suatu sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak bersumber pada 3 (tiga) alasan utama. Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menerjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas Pemerintah lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang. 
Untuk mendukung tercapainya sistem pemerintahan yang efektif, maka perlu suatu upaya serius untuk menguatkan berbagai elemen sistem pemerintahan bagi kebijakan publik yang aspiratif dan responsif. 
Argumen teoritik pilihan terhadap sistem presidensialisme adalah: pertama, presiden adalah satu-satunya pejabat publik yang dipilih untuk mewakili seluruh rakyat dan wilayah negara. Dengan demikian presiden memiliki mandat yang kuat untuk melaksanakan kehendak rakyat dan wilayah. Asumsinya, dengan mandat yang demikian maka lembaga ini memiliki dasar untuk melaksanakan suatu pemerintahan yang efektif. Kedua, dalam banyak kasus, presiden biasanya dipilih langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti. Dipilih langsung akan membuat kedudukannya tidak tergantung pada dinamika lembaga lain. Hubungan ini memungkinkan stabilitas kelembagaan yang akan berimplikasi kemungkinan tercapainya pemerintahan yang efektif. Ketiga, presiden terpilih memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan nasional secara terencana dan responsif, dan efektif. 
Efektivitas fungsi pemerintahan menghendaki lembaga kepresidenan didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif. Hubungan antara lembaga kepresidenan dan sistem perwakilan yang berimbang akan meletakan fondasi check and balances yang efektif. Secara umum dapat dikatakan bahwa penguatan sistem pemerintahan presidensial membutuhkan penguatan lembaga kepresidenan, penguatan lembaga perwakilan, serta perimbangan hubungan kelembagaan antara presiden dan legislatif.

D. Hubungan Sistem Kepartaian dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Sistem Presidensial.
Beberapa literatur menunjukkan adanya hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama koalisi yang mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota Dewan terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan partai jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain tidak adanya disiplin partai membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan partai sangat juga ditentukan oleh perubahan kontekstual dari konstelasi politik yang ada. 
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat presidensial dengan membuatnya mampu memerintah adalah dengan menyederhanakan jumlah partai. Jumlah partai yang lebih sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto point dan biaya transaksi politik. Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi lebih fokus dan berkualitas. Publik juga akan mudah diinformasikan baik tentang keberadaan konstelasi politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih sederhana.
Sistem kepartaian mempunyai hubungan sinergik dengan sistem Pemilu yang sekaligus menunjukan dianutnya tipe pemilihan umum plural majority dan akan menghasilkan jumlah partai yang lebih sedikit. Selain itu ada pula tipe pemilihan umum sistem representasi proporsional yang akan melahirkan sistem multi partai. Untuk dapat menghasilkan tipe system kepartaian sederhana, maka perlu pengkondisian dalam proses pemilu. Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya biasanya diberikan syarat minimal suara atau electoral threshold.

E.     Keuntungan dan Kerugian Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2005, tentang Pemerintahan Daerah bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala Daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara langsung oleh DPRD, dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2005 tesebut maka pemilihan kepala daerah dilakukan melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat.
Pasal 56 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasang calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Artinya, sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran pelaksanaan kedaulatan, yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD sekarang dilakukan sendiri oleh rakyat.
Adalah hal yang wajar ketika sebuah produk Perundangan yang menegaskan aturan baru dalam konteks politik kenegaraan mendapat banyak tantangan ketika awal ia diajukan ke publik. demikian pula ketika konsep pilkada langsung digagas melalui Undang-Undang 32 tahun 2005, pada awal perumusan dan penetapannya tidak sedikit pihak yang yang memunculkan berbagai ketidaksetujuan dan kekhawatirannya terhadap produk Undang-Undang tersebut, untuk memahami lebih lanjut mengenai pilkada langsung maka penting bagi kita untuk mengetahui pro dan kontra ketika perundang-undangan ini dibuat sehingga kontek pemunculan undang-undang ini menjadi lebih jelas.
Pemilihan Umum secara langsung tentu menimbulkan banyak permasalahan baik dari implikasi politik maupun dampak sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Ada beberapa Keuntungan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
1.      Pemilihan secara langsung  memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam Pemilu dalam arti partisipasi secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan. 
2.      Proses Pemilu secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik.
3.      Presiden mempunyai manfaat legitimasi yang kuat
4.      Sistem lebih accountable
5.      Check and Balance legislatif-eksekutif seimbang
6.      Kriteria calon Presiden dapat dinilai langsung oleh pemilih / masyarakat
Dari pelaksanaan Pemilu secara langsung, ada beberapa permasalahan yang muncul berkaitan dengan persiapan dalam penyelenggaraan pilkada, permasalahan-permasalahan ini harus diantisipasi oleh pemerintah khususnya KPU sebagai pelaksana Pemilu, Jadi berikut kerugian – kerugian Pemilu Secara Langsung antara lain :
1.      Sistem ini memberi peluang kandidat Presiden harus dari Partai besar dan dengan dana yang besar
2.      Beratnya persyaratan pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mencapai 20 % dari suara / kursi DPR RI sehingga bagi calon-calon presiden bukan dari partai besar, kemungkinan kecil dapat mencalonkan.
3.      Partai Politik dan pasangan calon presiden dan Wakil Presiden menghabiskan biaya kampanye yang besar, ditakutkan ketika sudah terpilih akan melakukan tindakan Korupsi
4.      Maraknya praktik-praktik money politics. Pemilu langsung ternyata tidak bisa menghilangkan praktik money politics dimasyarakat, malah setelah pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung praktik money politik semakin meningkat.
5.      Cara Pemilu langsung dengan menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan Presiden. konsekuensi dari cara pemilihan semacam akan meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung pasangan calon sebab penerimaan dan penolakan terhadap pasangan calon dalam konteks kultur Indonesia lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional.
6.      Besarnya daerah pemilihan, menyebabkan proses pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan. Sehingga pelanggaran – pelanggaran kampanye semakin meningkat.
7.      Ketidak siapan pemilih untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah melakukan Pemilu langsung, kejadian seperti ini sering terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.
8.      Presiden tidak bertanngung jawab kepada MPR
9.      Sistem pemilihan Presiden langsung hanya akan mempersentasikan suara dari pulau jawa.
Tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan bahwa suara pemilih terbesar ada dipulau jawa, yang sebagian besar tentunya dihuni oleh suku bangsa jawa.Walaupun belum ada pembuktian konkrit untuk dugaan ini, logika yang mendasarinya cukup bisa diterima. Dengan begitu bisa diterima pula asumsi bahwa peluang kandidat yang berasal dari jawa untuk memenangkan pemilihan akan lebih besar dibandingkan kandidat dari suku bangsa diluar suku bangsa jawa, dan tentunya ini akan menimbulkan dampak turunan terhadap semakin mencuatnya sentimen anti jawa dari suku –suku bangsa lainya yang terutama ada diluar jawa.
10.  Sistem ini akan mengurangi fungsi dan peran MPR secara signifikan.
Dalam sebuah sistem pemerintahan Presidensil yang menganut sistem perwakilan bikameral , fungsi MPR memang tidak akan sama lagi dengan yang ada dalam konstitusi. MPR yang terdiri dari dua kamar DPR dan DPD akan lebih terkonsentrasi pada fungsi legislasi dan fungsi kontrol, yang sebenarnya bila dilihat dari ruang lingkup dan jangkauan dari wewenangnya ( scope and domain outhority ) lebih baik dan lebih signifikan dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehari-hari. Mengenai tidak adanya lagi legitimasi MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Mekanisme impachment akan lebih nyata dan lebih konsisten dengan sistem Presidensial, dibandingkan dengan mekanisme pertanggungjawaban Presiden yang lebih bersifat abstrak dan kenyataannya hanya berupa laporan (report) akhir tahun massa jabatan semata. Sehingga tidaklah tepat kiranya bila dikatakan bahwa sistem pemilihan Presiden langsung otomatis akan meminggirkan peran dan kedudukan MPR dalam berhadapan dengan Presiden.
11.  Sistem ini akan memperlemah kedudukan DPR.
Meningkatnya legitimasi Presiden tidak berakibat langsung bagi melemahnya kedudukan DPR. Legitimasi Presiden yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi tujuan pokok dari sistem presidensial. Namun bukan berarti DPR dan tentunya juga DPD dalam sebuah sistem perwakilan bikameral akan tetap bisa berperan dalam memberi arah dan mengawasi kinerja Presiden, melalui wewenang-wewenang yang secara konstitusional dimilikinya. Perubahan yang justru akan ditimbulkan adalah terciptanya kondisi yang lebih baik bagi pelaksanaan mekanisme checks and balances, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, karena DPR dan DPD semakin tidak diberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya.
12.  Sistem Pemilihan ini akan mengurangi atau membatasi kemungkinan dibentuknya suatu pemerintahan koalisi.
Secara teoritis sistem pemerintahan Presidensial tidak mengenal pemerintahan koalisi. Hanya sistem parlementer dan sistem semi parlementer yang membuka peluang bagi model pemerintahan tersebut. Pada dasarnya alternatif pemerintahan koalisi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan kebuntuan proses politik yang terjadi di parlemen sebagai akibat dari tidak adanya partai pemenang mayoritas dalam pemilihan anggota parlemen, sehingga dua atau lebih partai politik terpaksa bergabung (Coalition). Untuk membentuk kabinet yang akan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.Alternatif lainnya adalah pemerintahan minoritas yang merupakan suatu cara lain untuk memecah kemandegan politik atas sebab yang sama. Perbedaannya adalah pemerintahan minoritas hanya diisi oleh orang-orang berasal dari satu partai politik saja, yang pada umumnya adalah peraih suara terbanyak diantara partai-partai politik peraih suara lainanya.
Munculnya fenomena dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid yang diisi oleh orang-orang yang memiliki latar belakang partai politik yang berbeda-beda, sehingga seolah-olah merupakan kabinet koalisi, tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa wewenang untuk menentukan seseorang diangkat dan diberhentikan sebagai menteri hanya dimiliki oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Hal itu terpangkat dengan jelas pada saat terjadinya pemberhentian dan pengangkatan beberapa menteri di massa awal pemerintahan Gus Dur. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa tidak akan pernah terjadi suatu pemerintahan koalisi bila konstitusi RI tetap menganut sistem presidensial, meskipun sistem pemilihan presiden tetap dilakukan di MPR. Fenomena pada kabinet pelangi” Gus Dur mungkin bisa terulang di masa depan, namun kenyataan dalam hal itu hanyalah wujud dari strategi dan kebijakan politik presiden tidak dapat dipungkiri.
13.  Sistem pemilihan ini akan memakan biaya besar
Sistem pemilihan presiden langsung yang ideal memang akan mengeluarkan biaya yang relatif lebih besar dibandingan dengan pemilihan presiden tidak langsung. Hal itu dikarenakan dalam pemilihan presiden langsung yang ideal, waktu pelaksanaan pemilu presiden berbeda dengan waktu pelaksanaan pemilu anggota legislatif. Dasar pemikirannya adalah untuk meminimalisasi terjadinya coattail effect. Namun, dengan keterbatasan dana yang dimiliki negara saat ini, kiranya waktu pemilihan presiden dan waktu pemilihan anggota legislatif untuk sementara dapat dilakukan secara bersamaan. Sehingga penambahan biaya yang harus dikeluarkan dapat ditekan seminimal mungkin.Selain itu, kondisi pendanaan yang terbatas ini juga harus menjadi bahan pertimbangan pokok untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih sederhana hanya satu putaran, namun menghasilkan tingkat legitimasi yang memadai bagi kandidat yang memenangkan pemilihan.









BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Penyelenggara Pemilu memiliki tugas menyelenggarakan Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan Pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing.
B. Saran
Pemilu secara langsung merupakan jalan politik yang terbaik saat ini, yang membuat semarak praktek demokrasi lokal, akan tetapi Pemilu secara langsung harus disiapkan dengan lebih matang sehingga kedepan proses pemilihan yang melibatkan partisipasi rakyat secara langsung lebih bermakna dan mempunyai konstribusi positif terhadap desentralisasi.
Yang terpenting dari semuanya adalah terciptanya soliditas dari sesama anggota KPU dan sesama anggota Bawaslu serta Pemerintah. Tugas menyelenggarakan Pemilu adalah tugas yang maha berat, karena itu soliditas adalah keharusan. Selain itu, diantara dua lembaga penyelenggara pemilu harus terdapat kerjasama yang bersifat sinergis. Sinergi antara kedua lembaga penyelenggara pemilu ini amat menentukan suksesnya Pemilu 2014.
Sesuatu yang harus dingat adalah kita harus memilih seseorang yang kredibel untuk menjadi wasit dalam sebuah pertaruhan yang besar karena jika terjadi kesalahan akibat tidak independen implikasinya akan luar biasa. Semoga harapan pemilu yang jujur dan adil tidak hanya menjadi wacana namun menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan.



No comments:

Post a Comment