UU NO 15 TAHUN 2011 TENTANG
PENYELENGGARA PEMILU
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur
konstitusional yang menentukan suatu pemerintah berfungsi. Dalam demokrasi,
pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu
struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi.
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara
Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak
sipil dan politik dari warga negara.
Penyelenggara Pemilu
yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas. Jadi
dalam pemilu untuk memilih secara langsung
Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi/kabupaten/kota, sebagai penyalur
aspirasi politik rakyat di wilayah
bersangkutan, guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis diperlukan penyelenggaraan
pemilihan umum yang berkualitas sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang
dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara
pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan
akuntabilitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Penyelenggara Pemilu memiliki tugas
menyelenggarakan Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri. Salah satu faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan Pemilu
terletak pada kesiapan dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu itu sendiri,
yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.
Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh undang-undang untuk
menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan kewenangannya masing-masing.
Sehubungan dengan
penyelenggaraan Pemilu Tahun 2009 yang belum berjalan secara optimal, maka
diperlukan langkah-langkah perbaikan menuju peningkatan kualitas penyelenggaraan
Pemilu. Berdasarkan hal tersebut, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum perlu diganti.
Oleh karena itu, dalam
rangka peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum maka Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sudah diganti atas
persetujuan bersama DPR RI dan Presiden .
B. Rumusan Masalah
1. Apakah itu Undang
– Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu?
2. Siapa Penyelenggara
Pemilu di Indonesia?
3. Bagaimana Penyelenggaraan
Pemilu di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Penyelenggara Pemilu
Akhir September 2011, pemerintah dan DPR akhirnya
menyepakati serta mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu
menjadi Undang-Undang. Melalui rapat paripurna DPR, pemerintah dan 9 fraksi DPR
secara bulat mendukung pemberlakuan UU Penyelenggara Pemilu sebagai revisi
terhadap UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Secara substansi UU Penyelenggara Pemilu ini memuat
perubahan yang sangat signifikan. Perubahan itu menyangkut keanggotaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dapat berasal dari partai politik.
Meski terjadi penolakan dari kalangan masyarakat, DPR yang
mengatasnamakan rakyat tetap berkeyakinan hadirnya anggota asal partai justru
untuk saling mengawasi. Keyakinan ini disebabkan anggota KPU untuk pemilu 2004
dan 2009 yang bukan dari politisi ternyata juga diindikasikan tidak netral
sebagai penyelenggara pemilu.
Pertanyaanya
kemudian mampukah anggota KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu yang berasal dari partai bersikap netral?
1.
Kemandirian
Penyelenggara Pemilu
Kemandirian adalah modal dan sifat utama suatu lembaga
penyelenggara pemilu (pasal 22E ayat 5 UUD 1945). Kemandirian yang maknanya
sejalan dengan kata independen dan netral, yang berarti berdiri sendiri dan
tidak berpihak. Namun, makna mandiri serta netralitas dalam UU Penyelenggara
Pemilu yang baru sedang dipertanyakan. UU tersebut memperkenankan seseorang
yang berasal dari partai politik (parpol) mundur pada saat mendaftar sebagai
anggota KPU dan Bawaslu tanpa ada jeda waktu (pasal 11 butir i dan pasal
85 butir i UU Penyelenggara Pemilu). Hasil lobi internal antara fraksi di DPR
dan pemerintah menghasilkan kesepakatan bahwa pengunduran diri calon anggota
KPU disertai dengan jaminan dapat berkarya atau menempati jabatannya kembali
setelah tidak menjabat sebagai angggota KPU. Hal ini menyiratkan
‘ancaman’ dan keterkaitan terhadap karir politik seseorang yang bisa hancur
jika selama 5 tahun bekerja di KPU-Bawaslu tidak mematuhi keinginan parpol
asalnya.
Selain itu, intervensi dan kepentingan parpol juga bisa
bermain dalam seleksi para calon pimpinan badan-badan penyelenggara pemilu
tersebut. Dimulai dari pengajuan nama hingga terpilihnya nama calon pimpinan
penyelenggara pemilu melalui pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Tidak hanya itu, keterlibatan parpol pun masih terjadi di dalam Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam penyelesaian masalah kode etik.
Kehadiran anggota penyelenggara Pemilu dari parpol juga
berindikasi merugikan partai baru, karena partai lama yang saat ini berkuasa
mendominasi setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Padahal mereka memiliki
kepentingan untuk kembali memenangkan pemilu yang datang. Kemandirian
penyelenggaraan Pemilu berada dalam situasi kritis, sebab mantan anggota parpol
yang oleh revisi UU ini dimungkinkan duduk di kursi KPU, berpotensi menghalangi
kemenangan partai baru melalui berbagai cara, bisa melalui KPU, Badan
Penyenggara Pemilu dan Bawaslu serta di DKPP.
Jika melihat konstelasi yang mungkin terjadi seperti di
atas, jelas potensi intervensi partai sangat tinggi, mulai dari susunan anggota
KPU hingga masalah kode etik. Padahal seharusnya sebagai pembuat UU, DPR
seharusnya lebih mengedepankan masalah kebangsaan dan bersikap netral,
bukan malah mengobok-ngobok penyelenggara pemilu. Jika pemilu adalah
pertandingan sepak bola, maka seharusnya parpol hanya sebagai pemain, sedangkan
KPU dan Bawaslu adalah wasitnya. Lalu bagaimana mungkin parpol bertindak
sebagai pemain sekaligus wasit dan hakim dalam pengambilan keputusan?
Pemilu adalah hajat besar bagi bangsa ini. Masa depan dan
keberlangsungan negara ini turut dipertaruhkan dalam momen ini. Ratusan milyar
dana juga di keluarkan untuk sebuah penyelenggaraan pemilu termasuk di dalamnya
pemilihan presiden. Jika penyelenggaranya adalah orang - orang yang tidak
berkompeten atau tidak independen maka akan timbul banyak permasalahan kelak.
Semua pihak dapat meragukan hasil pemilu. Konflik pun terjadi ketika
keputusan-keputusan yang diambil tidak mencapai titik temu karena lebih
dilatarbelakangi kemauan menang sendiri. Masalah lain yang muncul adalah
terjadi gugatan demi gugatan terhadap putusan KPU. Jika berlarut maka
pemerintahan tidak akan berjalan efektif karena lamanya pelantikan dan
banyaknya gugatan.
2.
Pengawasan
dan Kualitas Penyelenggara Pemilu
Hadirnya anggota parpol dalam KPU dan Bawaslu harus menjadi
perhatian serius. Pada kedua lembaga ini sebenarnya kita menaruh harapan agar
pemilu dapat berjalan jujur dan adil. Sehingga menghasilkan para wakil rakyat
dan pemimpin yang murni merupakan pilihan rakyat. Beberapa langkah dapat
dilakukan berkaitan dengan UU Penyelenggar Pemilu hasil revisi tersebut.
Proses yang transparan tetap menjadi menu yang utama. Semua
harus terlihat sehingga pengawasan menjadi milik bersama dan kemungkinan
terjadinya penyimpangan terpantau. Transparansi harus menjadi perhatian kita
bersama dari proses pendaftaran nama calon hingga penyelenggaraan uji kelayakan
dan kepatutan di DPR. Hal penting lainnya yang tidak boleh luput dari perhatian
adalah kualitas mereka yang duduk sebagai panitia seleksi para calon
penyelenggara pemilu. Pansel ini adalah saringan pertama mereka yang terpilih
untuk duduk sebagai anggota penyelenggara pemilu sebelum dikirim ke DPR.
Selain itu, perlu tindakan mengganti atau merevisi UU
Penyelenggara Pemilu. Penghilangan keikut-sertaan parpol menjadi langkah yang
serius untuk dilakukan. Pasal 14 butir i, pasal 85 butir i dan pasal 109
ayat 4 huruf e UU Penyelenggara Pemilu, harus dihapus terkait keikutsertaan
anggota parpol sebagai anggota KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu. Alasannya anggota parpol memiliki kepentingan keberpihakan untuk tetap
bertahan dan berkuasa. Dugaan ketidaknetralan mantan anggota KPU Anas
Urbaningrum dan Andi Nurpati yang berakhir menjadi anggota Partai Demokrat
tidak bisa langsung menjadikan alasan anggota parpol bisa masuk sebagai penyelenggara
Pemilu. Seharusnya langkah yang diambil adalah memilih anggota Penyelenggara
Pemilu dengan pengetatan syarat, seperti berintegritas, tidak akan masuk parpol
dikemudian hari, tidak mundur ditengah jalan dan berani menegakan peraturan.
Sangat layak untuk mengajukan uji materi UU Penyelenggara
Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini guna memastikan dan mengklarifikasi
status keikutsertaan parpol sebagai anggota KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu. Biarlah MK mendefinisikan arti kemandirian, netralitas
dan independen yang tercantum dalam UUD 45 bagi status anggota
Penyelenggara Pemilu.
3.
Soliditas
dan Sinergi Penyelenggara pemilu
Setelah melewati proses seleksi oleh tim seleksi dan fit and
proper test oleh Komisi II DPR, terpilih sebanyak tujuh komisioner KPU dan lima
anggota Bawaslu. Para komisioner KPU itu adalah Ida Budhiati, Sigit Pamungkas,
Arief Budiman, Husni Kamil Manik, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Hadar Nafis Gumay,
dan Juri Ardiantoro. Adapun anggota Bawaslu terpilih adalah Muhammad,
Nasrullah, Endang Widhatiningtyas, Daniel Zuchron, dan Nelson Simanjuntak.
Lima orang anggota KPU terpilih adalah orang-orang yang
berpenalaman di KPU daerah, yaitu Ida Budhiati, Arief Budiman, Husni Kamil
Manik, Ferry Kurnia Rizkiansyah, dan Juri Ardiantoro. Sementara dua orang
lainnya, Hadar Nafis Gumay dikenal sebagai pegiat dan pemerhati pemilu, dan
Sigit Pamungkas adalah akademisi. Sementara anggota Bawaslu memiliki beragam
aktivitas sebelumnya.
Meskipun diseleksi oleh orang-orang yang professional dan
memiliki integritas tinggi, dan dilanjutkan dengan fit and proper test yang
berlangsung secara terbuka, ternyata komposisi anggota KPU dan Bawaslu terpilih
tidak luput dari kelemahan. Setidaknya terdapat dua kelemahan komposisi KPU dan
Bawaslu.
Pertama, KPU dan Bawaslu memerlukan anggota-anggota yang
faham hukum. Namun demikian, dari tujuh anggota KPU terpilih, hanya satu orang
yang berlatar belakang hukum, yaitu Ida Budhiati. Kondisi yang tidak berbeda
terdapat pada Bawaslu, lembaga yang sangat berhubungan dengan penegakan hukum
pemilu, terlihat diawaki oleh orang-orang yang minim pengetahuan hukumnya.
Kedua, KPU dan Bawaslu dituntut memiliki kemampuan
komunikasi yang baik secara internasional. Saat pemilu nanti, mereka akan
menjadi salah satu corong Republik di muka internasonal. Komposisi KPU dan
Bawaslu terpilih memiliki kemampuan komunikasi, khususnya dalam bahasa Inggris,
yang tidak merata.
Kondisi
di atas membuat berbagai kalangan masyarakat sipil tergerak untuk memberikan
beberapa rekomendasi. Rekomendasi antara lain berasal dari Koalisi Amankan
Pemilu 2014 yang terdiri dari 21 organisasi masyarakat sipil. Berikut adalah
rekomendasi tersebut:
1.
Meskipun proses terakhir pemilihan dilakukan secara politis, anggota KPU dan
Bawaslu terpilih harus tetap mampu menjaga independensi dan integritas. Lupakan
proses politik yang terjadi dan kembali pada misi awal sebagai penyelenggara
pemilu yang mandiri dan profesional untuk menyelenggarakan pemilu 2014 yang
jujur, adil, demokratis, berkualitas, dan lebih baik.
2.
Anggota KPU dan Bawaslu harus bekerja secara profesional, cekatan, dan
akuntabel untuk segera memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga
penyelenggara pemilu. Hal ini bisa dimulai dengan membangun konsolidasi
organisasi, merumuskan langkah-langkah kerja penyiapan penyelenggaraan pemilu
kedepan, serta membentuk soliditas tim. Kelemahan komposisi keanggotaan dalam
aspek hukum harus diantisipasi dengan baik oleh KPU/Bawaslu saat ini.
3.
Anggota KPU dan Bawaslu terpilih agar bekerja secara terbuka, partisipatif, dan
mulai membangun program kelembagaan yang melibatkan para pemangku kepentingan
secara tepat, dengan membangun konsep partisipasi yang setara,
nondiskriminatif, dan imparsial.
4.
Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawasi dan mengkritisi KPU
dan Bawaslu agar pemilu 2014 dapat terselenggarakan sesuai dengan harapan
masyarakat.
B. Tahap
Penyelenggaraan Pemilu
Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi:
1. Pemutakhiran data pemilih dan
penyusunan daftar pemilih;
2. Pendaftaran Peserta Pemilu;
3. Penetapan Peserta Pemilu;
4. Penetapan jumlah kursi dan penetapan
daerah pemilihan;
5. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
6. Masa kampanye;
7. Masa tenang;
8. Pemungutan dan penghitungan suara;
9. Penetapan hasil Pemilu; dan
10. Pengucapan sumpah/janji anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
C. Lembaga Penyelenggara Pemilu
Komisi Pemilihan Umum (KPU), adalah lembaga penyelenggara
Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Kabupaten/Kota, adalah penyelenggara Pemiludi provinsi dan
kabupaten/kota.
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), adalah panitia yang
dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat
kecamatan atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut kecamatan.
Panitia Pemungutan Suara (PPS), adalah panitia yang dibentuk
oleh KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat desa atau
sebutan lain/kelurahan, yang selanjutnya disebut desa/kelurahan.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), adalah
kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara di
tempat pemungutan suara.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri
(KPPSLN), adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk menyelenggarakan pemungutan
suara di tempat pemungutan suara di luar negeri.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), adalah badan yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi dan Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten/Kota, adalah panitia yang dibentuk oleh
Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota.
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan, adalah panitia
yang dibentuk oleh Panwaslu kabupaten/kota untuk mengawasi penyelenggaraan
Pemilu di wilayah kecamatan.
Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh
Panwaslu kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa/kelurahan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan
rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu
yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat
terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta
memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara.
Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang
berkualitas.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Penyelenggara Pemilu memiliki tugas
menyelenggarakan Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri.
Salah satu faktor penting bagi keberhasilan
penyelenggaraan Pemilu terletak pada kesiapan dan profesionalitas Penyelenggara
Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan Pemilu. Ketiga institusi ini telah diamanatkan oleh
undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan
kewenangannya masing-masing.
Sehubungan dengan
penyelenggaraan Pemilu Tahun 2009 yang belum berjalan secara optimal, maka
diperlukan langkah-langkah perbaikan menuju peningkatan kualitas
penyelenggaraan Pemilu. Perbaikan tersebut mencakup perbaikan jadwal dan
tahapan serta persiapan yang semakin memadai. Berdasarkan hal tersebut, maka
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum perlu
diganti
B. Saran
Yang terpenting dari semuanya adalah terciptanya soliditas
dari sesama anggota KPU dan sesama anggota Bawaslu. Soliditas dalam organisasi
KPU dan Bawaslu akan mempermudah kedua organisasi tersebut untuk mampu
menjalankan tugasnya dengan baik. Tugas menyelenggarakan Pemilu adalah tugas
yang maha berat. Karena itu, soliditas adalah keharusan. Selain itu, diantara
dua lembaga penyelenggara pemilu harus terdapat kerjasama yang bersifat
sinergis. Sinergi antara kedua lembaga penyelenggara pemilu ini amat menentukan
suksesnya Pemilu 2014.
Sesuatu yang harus dingat adalah kita harus memilih
seseorang yang kredibel untuk menjadi wasit dalam sebuah pertaruhan yang besar
karena jika terjadi kesalahan akibat tidak independen implikasinya akan luar
biasa. Semoga harapan pemilu yang jujur dan adil tidak hanya menjadi wacana
namun menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan.
No comments:
Post a Comment