Wednesday, 18 November 2015

Otonomi Daerah di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tiga tahun  sebelum menginjak abad XXI, terjadi peristiwa besar di Indonesia  mengawali abad yang dinantikan oleh seluruh masyarakat dunia. Gerakan Reformasi yang terjadi pada  pertengahan tahun 1997 demikian dahsyat sehingga mampu menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang dianggap sudah tidak populer untuk menjalankan pemerintahan Indonesia. Sejalan dengan  terjadinya gerakan Reformasi marak pula isu-isu heroik yang berkaitan dengan penegakan demokrasi, upaya menghindari disintegrasi, upaya pembentukan pemerintahan yang baik dan bersih, kredibilitas pemimpin, pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pemberdayaan masyarakat, pembangunan berkelanjutan, pembentukan otonomi daerah, dan masih banyak isu-isu lainnya.
Gerakan Reformasi yang gencar dan luas merupakan akumulasi dari carut-marut pemerintahan yang sudah tidak sesuai dengan harapan masyarakat, ditambah dengan krisis ekonomi yang parah. Akar kekacauan tersebut di atas adalah  pemerintah Orde Baru yang  dianggap melaksanakan pemerintahan sentralistik, otoriter dan  korup. Dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru  semakin gencar pula tuntutan masyarakat, baik di tingkat elite pusat maupun daerah  untuk memberlakukan otonomi daerah secara lebih luas .
Otonomi daerah sebagai suatu sistim pemerintahan di Indonesia  yang desentralistis bukan merupakan hal yang baru. Penyelenggaraan otonomi daerah sebenarnya sudah diatur dalam UUD 1945. Walaupun demikian dalam perkembangannya selama ini pelaksanaan otonomi daerah belum menampakkan hasil yang optimal. Setelah gerakan Reformasi berlangsung dan pemerintahan Suharto jatuh, wacana untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah terdengar kembali gaungnya, bahkan lebih keras dan mendesak untuk segera dilaksanakan. Tuntutan masyarakat untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah disambut oleh presiden Habibie sehingga kemudian ditetapkan Undang-undang  Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat  dan Daerah. Dengan disahkannya kedua undang-undang tersebut, maka terjadi perubahan paradigma, yaitu dari pemerintahan sentralistis ke pemerintahan desentralistis. Berdasarkan undang-undang otonomi daerah tersebut, pemberlakuan undang-undang tersebut efektif  dilaksanakan setelah dua tahun sejak ditetapkannya. Pada masa pemerintahan presiden Abdurachman Wachid Undang-undang Otonomi Daerah mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari 2001.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dari latar belakang tersebut adalah :
1.             Bagaimana Pengaruh Penerapan Otonomi Daerah di Lingkungan Sekretariat Daerah Kota Banjar ?
2.              Bagaimana Pengaruh Pelaksanaan Otonomi Daerah di Lingkungan Sekretariat Daerah Kota Banjar ?
3.             Bagaimana Peningkatan kinerja aparatur dari akibat pelaksanaan otonomi daerah di Lingkungan Sekretariat Daerah Kota Banjar?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya tulis ini yaitu untuk memenuhi tugas maka kuliah Otonomi Daerah di STISIP Bina Putra Banjar dalam bentuk sebuah Makalah dan untuk menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca, masyarakat pada umumnya dan kalangan mahasiswa khususnya agar mengetahui bagaimana pengaruh otonomi daerah terhadap peningkatan kinerja aparatur di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Banjar.

D.     Ruang Lingkup
Karena keterbatasan waktu dan banyaknya tugas kuliah yang ada maka ruang lingkup makalah ini sangat singkat dan terbatas serta pembahasannya pun hanya seputar pengaruh dari pelaksanaan otonomi daerah terhadap peningkatan kinerja aparatur yang ada di Dinas Pendidikan.

E.     Metode Penulisan
Dari beberapa metode penulisan yang ada , penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan di mana selain mendapatkan materi makalahnya dari buku-buku mengenai otonomi daerah dan UU otonomi daerah serta penulis juga menggunakan media internet untuk mendukung data-data yang sudah ada, mengingat keterbatasan waktu maka melalui internet data mudah didapatkan dan cepat serta efisien.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1.    F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2.    Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3.    Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
1.    Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2.    Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3.    Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
 Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1.    Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan   kebijaksanaan sendiri.
2.    Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3.    Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4.    Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.

B.     Kinerja Aparatur / Pegawai
Kinerja Aparatur merupakan aspek yang penting dalam manajemen sumber daya manusia, berikut beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli adalah sebagai berikut :
Sedarmayanti (2007:17) menyatakan bahwa kinerja merupakan sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah seorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya secara keseluruhan, atau merupakan perpaduan dari hasil kerja (apa yang harus dicapai seseorang) dan kompetensi (bagaimana seseorang mencapainya).
Selanjutnya Mangkunegara (2006:25) menyatakan bahwa kinerja Sumber Daya Manusia merupakan istilah dari kata Job Performance atau Actual Performance (Prestasi Kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan/pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kemudian Handoko (2001:30) menyatakan bahwa kinerja (perfomance appraisal) adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan dimana dalam kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka.
Dalam tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu dalam hal ini mencakup kinerja individu, kinerja kelompok, kinerja perusahaan yang dipengaruhi faktor intern dan ekstern. Oleh karena itu kinerja aparatur dapat dilihat dari hal kecepatan, kualitas, layanan dan nilai. Maksudnya kecepatan dalam proses kerja yang memiliki kualitas yang terandalkan, layanan yang baik dan memiliki nilai.
Penilaian kinerja didasarkan pada pemahaman, pengetahuan, keahlian, kepiawaian dan prilaku yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik dan analisis tentang atribut perilaku seseorang sesuai kriteria yang ditentukan untuk masing-masing pekerjaan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan menurut Mahsun (2006:10) bahwa : Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program, kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi.
Sedangkan menurut Robertson dalam Mahsun (2006:11) juga menyatakan bahwa : Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang/jasa, kualitas barang/jasa, hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan.
Cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.    Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai.
2.    Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran atau tingkat kepuasan yaitu seberapa baik penyelesaiannya.
3.    Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.
Sedangkan menurut Mathis (2002:78) yang menjadi indikator dalam mengukur kinerja atau prestasi pegawai adalah sebagai berikut:
1.    Kuantitas kerja, yaitu volume kerja yang dihasilkan dalam kondisi normal.
2.    Kualitas kerja, yaitu dapat berupa kerapian ketelitian dan keterkaitan hasil dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan.
3.    Pemanfaatan waktu, yaitu penggunaan masa kerja yang disesuaikan dengan kebijaksanaan perusahaan atau lembaga pemerintahan.
4.    Kerjasama, yaitu kemampuan menangani hubungan dengan orang lain dalam pekerjaan.

C.    Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah
            Selama  kurang lebih 60 tahun Indonesia medeka, otonomi daerah turut mengiringi pula perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama otonomi daerah belum sepenuhnya dilaksanakan, karena pimpinan negara  yang menerapkan demokrasi terpimpin cenderung bersikap otoriter dan sentralistis dalam melaksanakan pemerintahannya. Demikian pula pada masa pemerintahan Orde Baru dengan demokrasi Pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat sentralistis dan otoriter . Selain itu pada kedua masa tersebut banyak terjadi distorsi kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah. Tentu saja kita belum dapat melihat dampak dan pengaruh dari pelaksanaan otonomi daerah pada kedua masa itu, karena pada kenyataannya otonomi daerah belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun sudah banyak Undang-undang dan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan otonomi daerah tersebut.
            Pada masa Reformasi tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah sangat gencar sehingga pemerintah secara serius pula  menyusun kembali Undang-undang yang mengatur otonom daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang  Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui masa transisi dan sosialisasi untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah tersebut,maka otonomi daerah secara resmi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001, pada masa pemerintahan presiden Abdurachaman Wachid. Setelah kurang lebih 4 tahun otonomi daerah diberlakukan, dampak yang terlihat adalah muncul dua kelompok masyarakat yang berbeda pandangan tentang otonomi daerah. Di satu sisi ada masyarakat yang   pasif dan pesimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah, mengingat pengalaman-pengalaman pelaksanaan otonomi daerah pada masa lalu. Kelompok masyarakat ini tidak terlalu antusias memberikan dukungan ataupun menuntut program-program yang telah ditetapkan dalam otonomi daerah.  Di sisi yang lain ada kelompok masyarakat yang sangat optimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah karena kebijakan ini cukup aspiratif dan didukung oleh hampir seluruh daerah dan seluruh komponen.
            Antusiasme dan tuntutan untuk segera melaksanakan otonomi daerah juga berdatangan dari kelompok-kelompok  yang secara ekonomis dan politis mempunyai kepentingan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu masyarakat yang masih dipengaruhi oleh euforia reformasi menganggap otonomi daerah adalah kebebasan tanpa batas untuk melaksanakan pemerintahan sesuai dengan harapan dan dambaan mereka. Masyarakat dari daerah yang kaya sumberdaya alamnya, tetapi tidak menikmati hasil-hasil pembangunan selama ini, menganggap otonomi daerah memberikan harapan cerah untuk meningkatkan kehidupan mereka. Harapan yang besar dalam melaksanakan otonomi daerah telah mengakibatkan daerah-daerah saling berlomba untuk menaikan pendapatan asli daerah (PAD). Berbagai contoh upaya gencar daerah-daerah untuk meningkatkan PAD  dengan cara yang paling mudah yaitu dengan penarikan pajak dan retrebusi secara intensif. Contoh lain, tidak jarang terjadi sengketa antar daerah yang memperebutkan batas wilayah yang mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Perebutan sumber pendapatan daerah sering juga terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemikiran yang bersifat regional, parsial, etnosentris, primordial , seringkali mewarnai pelaksanaan otonomi daerah sehingga dikhawatirkan dapat menjadi benih disintegrasi bangsa.
Selain dampak negatif dari pelaksanaan otonomi daerah seperti tersebut di atas, juga ada dampak positif yang memberikaan harapan keberhasilan otonomi daerah. Suasana di daerah-daerah dewasa ini cenderung saling berpacu untuk meningkatkan potensi daerah dengan  berbagai macam cara. Seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah daerah dan anggota masyarakat umumnya diharapkan dapat mengembangkan kreativitasnya dan dapat melakukan inovasi diberbagai bidang . Pengembangan dan inovsi bidang-bidang dan sumberdaya yang dahulu kurang menarik perhatian untuk dikembangkan, sekarang dapat menjadi potensi andalan dari daerah. Selain itu otonomi daerah memacu menumbuhkan demokratisasi dalam kehidupan masyarakat,  memacu kompetisi yang sehat, pendstribusian kekuasaan sesuai dengan kompetensi
Otonomi daerah juga memiliki pengaruh positif dan negatif diantaranya,
1.    Pengaruh positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas local yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak dari pada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
2.    Pengaruh negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugika Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satudengan daerah tetangganya, atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.

D.    Kinerja Aparatur Sebagai Akibat Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah di berbagai daerah di Indonesia telah menimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif seperti beberapa contoh yang telah penulis sebutkan di atas. Selain itu otonomi daerah juga telah membawa perubahan-perubahan terhadap kinerja aparatur.
Sejalan dengan tekat pemerintah untuk melaksanakan otonomi daerah, maka telah terjadi perubahan-perubahan paradigma (Warseno dalam Ambardi dan Prihawantoro, 2002 : 181), yaitu antara lain :
·      Paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi
·      Paradigma kebijakan tertutup ke kebijakan terbuka (transparan)
·      Paradigma yang menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan ke masyarakat yang menjadi subyek pembangunan.
·      Paradigma dari otonomi yang nyata dan bertanggungjawab ke otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
·      Paradikma dari organisasi yang tidak efisien  ke organisasi yang efisien .
·      Paradigma dari perencanaan dan pelaksanaan program yang bersifat top down ke paradigma sistem perencanaan campuran top down dan bottom- up.
Perubahan paradigma ini juga merubah kinerja aparatur dalam melaksanakan kegiatannya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan paradigma pemerintahan sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi telah menyebabkan kebingungan pada aparat pemerintah daerah yang sudah terbiasa menerima program-program yang telah dirancang oleh pemerintah pusat. Sekarang mereka dituntut untuk melaksanakan pemerintahan yang efisien dan berorientasi pada kualitas pelayanan serta melibatkan partisipasi masyarakat. Pemerintah Daerah dituntut untuk secara mandiri melaksanakan aktivitas perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan program pembanguan yang dilaksanakan di daerahnya.  Selain itu  daerah dituntut kemampuannya untuk membiayai sebagian besar kegiatan pembangunannya sehingga diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas, kreatif, inovatif  , yang diharapkan dapat menghasilkan pemikiran , konsep dan kebijakan dalam rangka mencari sumber pembiayaan pembangunan tersebut. Perubahan paradigma dalam waktu yang relatif singkat, tentu saja belum membuat para aparat pemerintah daerah dan masyarakat memahami sepenuhnya hakekat dan aturan-aturan pelaksanaan otonomi daerah. Walaupun demikian sedikit demi sedikit aparat pemerintah daerah dan masyarakat mulai belajar menyesuaikan diri dengan iklim otonomi daerah. Aktivitas yang mengarah pada efisiensi dan upaya peningkatan kualitas pelayanan, inovasi dan kreativitas dalam penggalian potensi daerah mulai digiatkan. Beberapa contoh dapat disebutkan yaitu bahwa instansi-instansi pemerintah di daerah giat mendorong para pegawainya untuk meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan dan keahliannya melalui peningkatan pendidikan, baik formal maupun non formal. Contoh yang lain adalah pemangkasan prosedur birokrasi yang bertele-tele, dengan tujuan untuk efisiensi.











\



BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Menginjak abad XXI ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk melaksanakan otonomi daerah. Pengalaman masa lalu yang kurang menggembirakan dalam pelaksanaan otonomi daerah diharapkan menjadi pegangan kuat untuk mewujudkan otonomi daerah sesuai dengan hakekat dan tujuannya yang mulia. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hal yang menakutkan bila dipahami dengan benar dan proporsional. Banyak daerah yang telah menunjukkan  prospek yang menggembirakan.
 Modal utama untuk mewujudkan terlaksananya otonomi daerah secara baik dan benar adalah rasa percaya diri yang besar dan komitmen yang tinggi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk tetap konsisten melaksanakan otonomi daerah. Melalui otonomi daerah peluang untuk melaksanakan demokrasi ekonomi terbuka lebar, sehingga ekonomi kerakyatan yang selama ini tiak mendapat perhatian, akan mendapat perlindungan. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerakyatan harus memotivasi masyarakat untuk berkreasi dan berinovasi agar daerah mempunyai daya tahan dan daya saing di era globalisasi ini.
Kinerja aparatur yang muncul sebagai akibat euforia reformasi yang dapat menimbulkan “kontra produktif” harus diarahkan menjadi kultur dan perilaku yang produktif dan konstruktif untuk mewujudkan otonomi daerah yang sehat dan seimbang. Demikian juga kinerja yang sudah sejak lama tumbuh dalam aparatur pemerintahan seperti patron  client, primordialisme, etnosentrisme, harus dikendalikan dan diarahkan menjadi nilai positif  yang mendukung pembangunan daerah yang berlandaskan nilai-nilai religius, gotong royong , tenggang rasa dan sebagainya.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah,maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan  mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila aparatur yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila kinerja aparatur yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
  1. Saran
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan dapat membawa pemerataan dan keadilan dalam pelaksanaan di masyarakat daerah khususnya kerana berhasil atau tidaknya otonomi daerah tergantung pada daerah itu sendiri dan diharapkan juga dengan adanya sistem desentralisasi dan otonomi daerah dapat menjamin terbukanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerahnya dan kinerja aparatur pun akan semakin baik karena dengan beban kerja yang semakin berat.


No comments:

Post a Comment